Biarkan Aku Menyapa

Assalamu'Alaikum.......
Hai... salam kenalku selalu padamu shobat.
Bertamasyalah, karena dengan begitu anda akan selalu merasakan kesegaran dalam kata, pikir, jiwa, dan raga. Bila anak panah tetap berada bersama busur, ia takkan membunuh seekor kijang pun. Mataharipun akan nampak begitu membosankan bila ia tetap berada di Timur, meski selalu tersenyum. Bahkan air akan mengeluarkan bau tak sedap karena bila ia enggan mengalir. Oleh karenanya, ungkapkanlah apapun yang ada dalam otak anda.Keputusan akan melemahkan pandangan dan menutup pendengaran. Kita tidak dapat melihat kecuali bayang-bayang kehampaan, dan tidak bisa mendengar kecuali detak jantung yang kosong.

Sabtu, 27 Juni 2009

Metode Mawdhu’i.

A. Metode Mawdhu’i.

Metode tafsir mawdhu’iy juga disebut dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Quran. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir mawdhu’iy: pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang satu masalah tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama; kedua, penafsiran yang dilakukan berdasar surat al-Quran.[1]

Dalam penerapan metode ini, ada beberapa lamgkah yang harus ditempuh oleh mufassir. Antara lain sebagaiman diungkapkan oleh al-Farmawi berikut ini:

1. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya.

2. Menelusuri latar belakang turun ayat-ayat yang telah dihimpun.

3. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahn di dalam ayat itu.

4. Mengkaji pemahamn ayat-ayat itu dari pemahamn berbagai aliran dan pendapat para mufassir, baik yang klasik maupun yang kontemporer.

5. Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar.[2]

B. Ayat-ayat Ghadd al-Bashar dan Hifzh al-Farji.



Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (Surat al-Nur (24): 30).[3]





Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Surat al-Nur (24): 31).[4]



Dan perempuan-perempuan tua yang Telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana. (Surat al-Nur (24): 60).[5]



Penjelasan arti kosa kata

Menurut bahasa, al-Ghadd berarti mengurangi, menurunkan atau merendahkan, dan melakukan. Menurut al-Ustadz Abu al-‘Ala al-Mawdudy arti ungkapan Ghadd al-Bashar seperti yang terdapat dalam ayat ini adalah: agar tidak memandang sesuatu dengan leluasa sepenuh pandangan, dan menahan pandangan kepada sesuatu yang tidak halal dengan cara menundukkan pandangan ke bawah atau memalingkan kearah lain.

Kata-kata (من) di dalam kalimat (من أبصارهم) adalah li al-Tab’idh (التبعيض), artinya Allah tidak menyuruh memalingkan atau menahan seluruh pandangan, melainkan hanya nenyuruh memalingkan sebagiannya saja. Dengan kata lain, Allah tidak menginginkan agar kamu selalu memalingkan seluruh pandanganmu kepada sesuatu, tetapi Ia hanya menginginkan agar kamu menahan pandangan terhadap bagian atau daerah tertentu.

Di dalam hal perintah Allah agar laki-laki beriman menahan pandangan mereka, hal pertama yang menjadi perhatian adalah keberadaan huruf jar “من” yang menunjukkam arti “sebagian”, yang menyebabkan pengertian ayat menjadi “menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang haram dan hanya mengarahkan pandangan kepada yang halal atau yang dibolehkan.

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa Allah tidak menyuruh laki-laki mukmin tersebut agar menahan atau memalingkan seluruh pandangan mereka secara total, melainkan hanya memalingkan sebagiannya saja. Sebab menahan pandangan secara terus menerus dan menalingkannya dari segala sesuatu berarti menafikan atau meniadakan pemanfaatan penglihatan sama sekali; dan anggapan bahwa Allah menghendaki hal yang demikian jelad tidak rasional. Akan tetapi, mengarahkan pandangan secara total kepada segala sesuatu juga akan menyebabkan seseorang terjerumus kepada berbagai bencana yang sumbernya bermula dari pandangan, yang merupakan pemangkit dari nafsu birahi, pemicu perbuatan zina, dan biang keladi berbagai perbuatan dosa.

Oleh kareba itulah Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, apakah itu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan maupun sebaliknya.

Di dalam sebuah hadis shahih riwayat Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah saw bersabda yang artinya: jnganlah kalian duduk-duduk di pinggir-pinggir jalan. Para sahabat bertanya : apakah kami harus selalu berbincang-bincang di majelis. Rasulullah menjawab: apabila kalian enggan, maka berikanlah kepada jalan haknya! Para sahabat bertanya: apakah gerangan hak jalan itu, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: hak jalan itu adalah menahan pandangan, menyingkirkan penyakit, menjawab salam, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Sementara di dalam perintah mengenai keharusan memelihara kemaluan (hifzal-farji), tidak terdapat huruf jar (من). Hal ini mengandung arti bahwa di dalam masalah pandangan tersebut terdapat semacam kelonggaran, Allah tidak bermaksud mempersempit wilayah penggunaannya kecuali sebatas yang diperlukan untuk Hifz al-Farji dan tidak meremehkannya.

Sebagaimana sudah diketahui pula bahwa laki-laki muhrim bagi seorang wanita tidak dilarang melihat rambut atau kepala wanita tersebut; begitu pula melihat budak-budak yang tengah bekerjauntuk kepentingan jual beli.

Pada waktu yang sama, tidak ada kelonggaran dan kebolehan untuk meremehkan dan mempermainkan soal Hifz al-Farji dalam bentuk dan cara apapun juga.

Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa daerah sasaran penggunaan pandangan itu terbatas pada apa yang dibolehkan oleh Allah SWT.

Bersamaan dengan perintah ghadd al-bashar, Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar memelihara kemaluan.

Pelaksanaan perintah Hifz al-Farj ini dapat dilakukan melalui dua cara:

Pertama, mencegahnya dari perbuatab zina, artinya agar laki-laki maupun perempuan menghindari perbuatan pemenuhan kegiatan biologis atau seksual dengan cara-cara yang diharamkan oleh Allah.

Kedua, memelihara dan menghindarkannya dari pandangan. Di sini termasuk pula usaha seseorang, laki-laki maupun perempuan untuk tidak membuka auratnya dihadapan orang lain.

Di sini Allah memerintahkan kepada laki-laki mukmin untuk melaksanakan dua hal. Pertama, perintah ghadd al-bashar; kedua hifz al-farj. Berkumpulnya dua sifat ini di dalam diri seorang pribadi membuat seseorang tersebut menjadi baik dan adil, yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Islam dan dibanggakan oleh umat.

Allah mendahulukan perintah ghadd al-bashar sebelum perintah hifz al-farj dikarenakan pandangan tersebut merupakan penyebab terjadinya zina dan berbagai perbuatan dosa lainnya; benih hawa nafsu itu adalah pandangan yang liar.[6]



















Kesimpulan

Menurut bahasa, al-Ghadd berarti mengurangi, menurunkan atau merendahkan, dan melakukan. Menurut al-Ustadz Abu al-‘Ala al-Mawdudy arti ungkapan Ghadd al-Bashar seperti yang terdapat dalam ayat ini adalah: agar tidak memandang sesuatu dengan leluasa sepenuh pandangan, dan menahan pandangan kepada sesuatu yang tidak halal dengan cara menundukkan pandangan ke bawah atau memalingkan kearah lain.

Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan

1. Saran dan kritik

Sedikitnya referensi yang di gunakan dalam penyusunan makalah ini, dan banyaknya kekurangan yang di miliki oleh penulis, menyebabkan makalah ini penuh dengan kekurangan dan kesalahan.

Oleh karena itu, kepada dosen pengampu yang bersangkutan sudilah kiranya meluangkan waktu sejenak untuk memberikan saran, kritikan, dan masukan untuk perbaikan makalah ini. Sehingga penyusunan makalah pada masa yang akan datang akan menjadi lebih baik dan sempurna.



Daftar Pustaka

Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya,(Jakarta: Cahaya Qur’an,2006)

Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Glagah UH,1998



[1] Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), 47.

[2] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Glagah UH,1998), 153

[3] Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya,(Jakarta: Cahaya Qur’an,2006), 353.

[4] Ibid, 31.

[5] Ibid, 358.

[6] Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 114.
read more “Metode Mawdhu’i.”

Jumat, 26 Juni 2009

Makna Surat al-Fiil

Surat al-Fiil

Makkiyah, terdiri dari lima ayat

Penamaannya:

Surat ini dinamakan Surat al-Fiil karena dimulai dengan penyebutan kisah para penunggang gajah: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuahnmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? (surat al-Fiil [105]: 1). Yakni tidak engkau tahu dengan seyakinnya apa yang telah diperbuat Tuhanmu Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa dengan Abrahah dari Habasyah (Abyssinia) panglima pasukan dari Yaman dan para pasukannya yang bermaksud menghancurkan Bait al-Haram (Ka’bah)?!

Korelasi (Munasabah) dengan surat sebelumnya:

Allah SWT menyebutkan dalam surat sebelumnya (al-Humazah) kondisi al-Humazah al-Lumazah yaitu orang mengumpulkan harta benda dan me-nyombongkan hartanya. Maka Allah menjelaskan bahwasanya harta bukanlah sesuatu yang mencukupi bagi Allah. Kemudian Allah menyebutkan dalam surat (al-Fiil) ini dalil akan hal tersebut dengan menceritakan kisah tentara bergajah yang jauh lebih kuat dari mereka (para penumpuk harta). Harta, jumlah (kwantitas) dan kekuatan mereka belum berarti apa-apa.

Cakupan (accommodation) surat al-Fiil:

Surat (al-Fiil) ini Makkiyah, terbatas menjelaskan kisah tentara bergajah yang percaya diri (tendentious) atas kekuatan, harta dan kekuasaan mereka untuk melakukan tindakan (penyerangan) dengan pasukan besar yang tidak terkalahkan. Kemudian Allah membinasakan mereka dari kelompok leluhur mereka ketika mereka bermaksud menghancurkan Ka’bah dengan pecahan batu dari Tuhan yang tergantung di kaki burung-burung kecil. Dan menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan ulat (seperti sisa-sisa tanaman setelah panen yang dimakan binatang ternak) dan tertiup angina ke setiap tempat.

Sorotan sejarah atas kisah tentara bergajah:

Adalah di Yaman seorang jenderal dari kabilah Najasyi (kerajaan Habasyah, Abyssinia) bernama Abrahah bin al-Shabbah al-Asyram kakek dari Ashhamah al-Najasyi yang semasa dengan Nabi SAW. Ia (Abrahah) telah mem-bangun gereja besar yang diberi nama “al-Qullais” untuk mengalihkan ritual haji orang-orang Arab. Kemudian ada seorang dari kabilah Kinanah yang membuang kotoran (berak) di dalam gereja itu pada waktu malam. Lantas Abrahah marah dengan hal tersebut, ia pun bersumpah untuk menghancurkan Ka’bah karena terbakar amarah dengan cerita tersebut. Sejatinya ia ingin menaklukkan Makkah untuk menghubungkan Yaman dengan negeri-negeri Syam dan memperluas negeri-negeri Nasrani.

Maka ia pun mempersiapkan pasukan besar, disertai dengan banyak gajah, –ada yang menyatakan 12 ekor, ada juga yang berpendapat 100 ekor –, untuk membuat teror dan intimidasi. Kemudian ia (Abrahah) berangkan sampai di “al-Mughammas” suatu daerah yang dekat dengan Makkah, dia me-ngirimkan utusan kepada penduduk Makkah untuk mengabari mereka bahwa-sanya Abrahah datang tidak untuk memerangi mereka (penduduk Makkah), dia datang hanya untuk menghancurkan Ka’bah. Penduduk Makkah merasa berat dengan hal itu dan mereka sedih karenanya. Mereka bermaksud memberikan per-lawanan terhadap Abrahah. Akan tetapi mereka tahu bahwa tidak mampu melawan Abrahah dan pasukannya. Mereka kemudian mencari perlindungan ke gunung-gunung dan melihat apa yang akan terjadi, mereka tetap percaya bahwa Ka’bah adalah milik Tuhan yang akan menjaganya.

Ketika pasukan (bergajah) semakin dekat dari Makkah, Abrahah me-merintahkan agar merampas harta benda orang-orang Arab. Di antara harta yang dirampas itu terdapat unta milik milik Abdul Muthallib bin Hasyim kakek Nabi SAW. Pasukan Abrahah lalu menggiring unta-unta itu yang berjumlah 200 ekor. Abrahah kemudian mengutus Hanathah al-Humairi ke Makkah, memerintahkan-nya mendatangi pemuka kaum Quraisy dan mengabarkan kepadanya bahwasanya raja (Abrahah) datang tidak untuk memerangi mereka, kecuali mereka meng-halanginya dari al-Bait (Ka’bah). Datanglah Hanathah, penduduk Makkah me-nunjukkannya kepada Abdul Muthallib bin Hasyim. Ia menyampaikan apa yang dikatakan Abrahah. Abdul Muthallib kemudian berkata kepadanya: Demi Allah kami tidak bermaksud memeranginya, kami tidak mempunyai kekuatan untuk hal itu, ini Bait ALLAH al-Haram (yang mulia), bait kekasih-Nya Ibrahim. Dan jika Allah akan mencegahnya dari Ka’bah, maka itu adalah bait-Nya dan kemulian-Nya. Jika DIA membiarkannya, maka demi Allah, kami tidak bisa mencegah Abrahah darinya (Ka’bah).

Hanathah lantas berkata kepada Abdul Muthallib, pergilah bersamaku menghadap Abrahah. Kemudian Abdul Muthallib pergi bersama Hanathah. Saat Abrahah melihat Abdul Muthallib, ia pun memberikan penghormatan. Abdul Muthallib adalah seorang lelaki tinggi besar yang enak dilihat. Abrahah lalu turun dari singgasananya dan duduk bersama Abdul Muthallib di atas permadani dan menanyakan keperluan Abdul Muthallib. Abdul Muthallib berkata, keperluanku adalah raja mengembalikan kepadaku 200 ekor unta yang engkau ambil.

Abrahah heran dan berkata: akankah engkau membicarakan urusan 200 ekor unta milikmu yang aku ambil. Tidak mempedulikan bait (Ka’bah), rumah agamamu dan agama leluhurmu, aku datang untuk menghancurkannya. Tidakkah engkau akan membicarakanny denganku?

Abdul Muthallib kemudian berkata kepada Abrahah: sesungguhnya aku hanyalah pemilik (tuan) dari unta, dan al-Bait (Ka’bah) adalah milik Tuhan yang akan menjaganya darimu. Abrahah berkata: tidak ada yang akan menghalangi aku, kamu atau pun DIA.

Abdul Muthallib dan pemuka-pemuka Arab yang lain telah menawarkan kepada Abrahah 1/3 (sepertiga) kekayaan negeri Tihamah jika ia mau kembali dan meninggalkan al-Bait (Ka’bah). Abrahah tidak mau dan mengembalikan unta milik Abdul Muthallib. Abdul Muthallib kemudian pulang dan mendatangi pintu al-Bait (Ka’bah), ia bersama sekelompok orang Quraisy. Mereka membentuk lingkaran di pintu Ka’bah, berdo’a kepada Allah, memohon pertolongan atas Abrahah dan pasukannya.

Kemudian pasukan (Abrahah) bergerak kea rah al-Bait dan memasuki Makkah. Abrahah mengendarai gajah besar bernama “Mahmud”. Ketika mereka mengarah ke al-Haram (Ka’bah dan sekitarnya), si gajah (Mahmud) menderum dan tidak mau bangun. Sedangkan jika mengarah ke Yaman atau arah yang lain, ia bergegas jalan dengan cepat.

Pada hari berikutnya sewaktu Abdul Muthallib berdo’a, ia menoleh (ke atas), tiba-tiba ada segerombolan burung dari arah laut Yaman. Ia pun berkata, Demi Allah, ini burung yang aneh, bukan dari Najd, bukan juga dari Tihamah. Pada setiap terdapat batu di paruh dan kaki-kakinya. Batu-batu itu kemudian dijatuhkan ke atas pasukan Abrahah. Tidaklah batu-batu itu mengenai mereka, kecuali binasa. Pasukan Abrahah pun lari tunggang-langgang ke arah Yaman, berguguran di jalanan. Abrahah terkena batu di badannya, sendi-sendinya mulai terlepas satu persatu, dagingnya juga berjatuhan, sampai ia tiba di “Shan’a’” dan mati dengan kematian yang paling buruk.

Kekalahan ini membawa pengaruh besar bagi para sejarawan dan orang-orang Arab, mereka lantas menghormati kabilah Quraiys. Mereka berkomentar: orang-orang Quraisy adalah ahli Allah, Allah membela mereka, cukuplah permusuhan terhadap mereka. Dan mereka semakin mengagungkan al-Bait (Ka’bah) dan mempercayai kedudukannya di sisi Allah.

Allah bermaksud dengan kejadian ini mengagungkan Bait-Nya dan me-ninggikan kedudukannya serta mempersiapkan bangsa Arab untuk memikul kerasulan Islam (Risalah al-Islam) ke seluruh alam.

Peristiwa bersejarah tersebut sangat penting pada tahun kelahiran Nabi SAW tahun 570 M, yakni 40 tahun antara tahun gajah dan diangkatnya Nabi SAW menjadi Rasul. Dan di Makkah masih ada sekelompok orang yang menyaksikan peristiwa tersebut, yang mencapai batas tawatur/mutawatir ketika Nabi dilahirkan. Hal itu tidak lain merupakan pertanda keistimewaan (irhash) bagi Rasulullah SAW.

Kisah Pasukan Bergajah

1). Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu Telah bertindak terhadap tentara bergajah [yang dimaksud dengan tentara bergajah ialah tentara yang dipimpin oleh Abrahah Gubernur Yaman yang hendak menghancurkan Ka'bah. sebelum masuk ke kota Mekah tentara tersebut diserang burung-burung yang melemparinya dengan batu-batu kecil sehingga mereka musnah]?

2). Bukankah dia Telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?

3). Dan dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong,

4). Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,

5). Lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

Tafsir dan Penjelasan:

[ayat 1]. Apakah kamu tidak tahu dengan seyakinnya, seakan engkau menyaksikan peristiwa itu, dengan apa yang telah diperbuat Tuhanmu Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa terhadap tentara bergajah, dalam arti Allah membinasakan mereka, memelihara Bait al-Haram, tidakkah pantas bagi kaummu agar mereka beriman kepada Allah SWT. Sementara orang-orang dari mereka menyaksikan peristiwa itu. Dimana bangsa Nashrani Habasyah yang menguasai Ymana ke Hijaz bermaksud merobohkan Ka’bah, ketika mereka dekat dari Makkah dan mau memasukinya, Allah SWT mengirimkan sekelompok burung-burung yang membawa batu yang dijatuhkan atas mereka, dan membinasakan mereka.

[ayat 2]. Allah SWT merusak rencana dan komplotan mereka. Artinya, tidakkah engkau memperhatikan bahwa Tuhanmu menjadikan tipu daya dan perencanaan serta usaha mereka untuk merobohkan Ka’bah, menjajah penduduk Makkah berada dalam kesesatan dari apa yang mereka maksudkan, dalam ke-musnahan dan kesia-siaan, sehingga mereka tidak sampai ke al-Bait, juga tidak sampai pada tujuan mereka dengan tipu daya mereka, justru Allah SWT mem-binasakan mereka. Tipu daya (al-Kaid) adalah bermaksud membahayakan orang lain tidak secara terang-terangan.

Ketika kaummu mengetahui hal ini, maka berilah peringatan mereka bahwa Allah SWT akan menghukum mereka dengan hukuman yang sama selama mereka senantiasa kafir kepada Allah SWT, Rasul-Nya SAW, kitab-Nya yang mulia, dan menghalangi manusia dari jalan iman yang benar kepada Allah SWT.

[ayat 3-4]. Allah SWT mengirimkan beberapa kelompok burung hitam secara terpisah. Mereka datang dari arah laut berkelompok-kelompok. Masing-masing burung membawa tiga buah batu; dua batu di kedua kakinya, dan satu batu di paruhnya, tidaklah batu itu mengenai sesuatu kecuali merusak dan membinasa-kannya. Batu tersebut kecil dari tanah liat yang mengeras (membatu) seperti biji kacang yang lebih besar dari kedelai. Ketika batu itu mengenai salah satu dari mereka, maka mereka membatu karenanya dan mengeluarkan bisul atau campak sampai mereka binasa.

[ayat 5]. Allah SWT menjadikan mereka sisa-sisa seperti dedaunan tanaman atau pepohonan ketika dimakan ulat, kemudian mengeluarkan kotoran-nya, maka Allah SWT membinasakan mereka semua.

Al-Bukhari mengeluarkan (hadits) bahwasanya: ketika Rasulullah SAW menguasai al-Tsaniyah pada hari Hudaibiyah atas orang-orang Quraisy, maka menderumlah unta beliau, para sahabat menghalaunya, ia pun tidak mau jalan. Para sahabat berkata: al-Qashwa’ (nama unta Nabi SAW) tidak mau jalan. Rasulullah SAW kemudian bersabda: “Tidaklah al-Qashwa’ mogok, itu bukan kebiasaannya, akan tetapi Sang Penghalau tentara bergajah yang menahannya”. Lalu beliau bersabda lagi: “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, tidaklak kalian memintaku hari ini akan urusan yang mengagungkan kehormatan Allah, kecuali aku memenuhinya”. Setelah itu beliau menghalau al-Qashwa’ dan ia pun bangkit.

Dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) disebutkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda pada penaklukan (fath) Makkah: “Sesungguhnya Allah memelihara Makkah dari gajah, Allah menguasakannya kepada Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Sesungguhnya telah kembali kehormatannya telah kembali pada hari ini seperti kehormatannya kemarin, ingatlah, hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak me-nyaksikan.

Fiqh al-Hayat (Hukum-hukum):

1). Khitab (percakapan) ini sekalipun untuk Nabi SAW, akan tetapi umum, yakni tidakkah kalian memperhatikan apa yang telah aku perbuat dengan tentara bergajah? Kalian telah melihat hal itu, dan kalian tahu tempat anugerahku atas kalian, lantas kenapa kalian tidak beriman?

2). Peristiwa itu menunjukkan atas kekuasaan Allah Sang Maha Pencipta, ilmu-Nya dan hikmah-Nya, serta kemuliaan nabi Muhammad SAW, karena bisa saja mendahulukan mu’jizat dari zaman al-Bi’tsah (pengangkatan nabi) sebagai dasar kenabian dan menjadi indikasi. Oleh karena itu mereka berkata: awan menaungi Muhammad SAW. Abu Hayyan berkata: pengusiran musuh yang besar tersebut pada tahun kelahiran Nabi SAW al-Sa’id menjadi indikasi akan ke-nabiannya; ketika datangnya burung-burung yang diceritakan dari mulut ke mulut termasuk sesuatu di luar kebiasaan. Begitu juga mukjizat di tangan para nabi-nabi alaihimus shalatu was salam. Sungguh sia-sia belaka tipu daya mereka. Allah SWT membinasakan mereka dengan selemah-lemah bala tentara-Nya, yaitu burung yang tidak mempunyai kebiasaan membunuh.

3). Kisah tersebut juga menunjukkan atas pengagungan Allah SWT pada Ka’bah, pemberian nikmat-Nya atas kaum Quraisy dengan menghalangi musuh dari mereka. Maka wajib atas mereka segera beriman dengan kerasulan Muhammad SAW, menyembah Allah SWT, dan bersyukur atas segala nikmat-Nya.

4). Diutusnya burung atas mereka menjadi indikasi (keistimewaan) Nabi SAW. Sedangkan setelah penetapan kenabian beliau, maka tidak dibutuhkan lagi adanya indikasi tersebut. Karena itu al-Hajjaj tidak diadzab karena merobohkan al-Bait. Sebab ia tidak bermaksud merobohkan Ka’bah. Ia menginginkan hal lain yaitu membunuh Ibn al-Zubair.

5). Kerusakan dan kebinasaan serta bentuk mereka setelah dilempari batu diserupakan dengan rupa yang buruk dan hina yang atas hinanya kekafiran mereka, kerdilnya jiwa mereka dan penghinaan mereka kepada Allah SWT. Bentuk itu seperti dedaunan kering atau jerami yang tertiup angin, dimakan ulat dan dikeluarkan kotorannya, yakni seperti kotoran hewan. Hal itu juga me-nunjukkan atas ketidak kekalan mereka. Karena menyamakan potongan anggota tubuh dengan bagian-bagian kotoran hewan.

Hanya saja penyerupaan semacam ini datang atas paradigma al-Qur’an dalam etikanya yang luhur. Semisal firman Allah SWT mengenai penyerupaan (tasybih) nabi ‘Isa dan ibunya: “kedua-duanya biasa memakan makanan…” [maksudnya ialah: bahwa Isa a.s. dan ibunya adalah manusia, yang memerlukan apa yang diperlukan manusia, seperti makan, minum dan sebagainya]. (al-Maidah [5]: 75.

Sesungguhnya Allah menguasakan (menurunkan) adzab atas pasukan bergajah dan tidak menurunkan adzab atas kaum kafir Quraisy yang memenuhi Ka’bah dengan berhala-berhala; karena tentara bergajah bermaksud merobohkan Ka’bah, ini dianggap haqq atas manusia (al-‘ibad). Sementara meletakkan arca-arca di Ka’bah –oleh kaum kafir Quraisy– mereka maksudkan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT, dan hal itu terhitung sebagai haqq atas Allah SWT. Hak-hak para hamba (manusia) didahulukan atas hak-hak Allah SWT.

6). Ibnu Mas’ud berkata: ketika burung melemparkan batu, Allah me-merintahkan angin, maka hal itu semakin sangat parah terasa. Batu-batu tersebut tidaklah mengenai seseorang kecuali menjadikannya binasa. Dari mereka hanya selamat seorang lelaki dari kabilah Kindah.

Diriwayatkan juga bahwasanya batu-batu tersebut tidaklah mengenai semua (tentara Abrahah). Akan tetapi mengenai orang-orang yang dikehendaki Allah SWT saja dari mereka –pasukan Abrahah–. Sudah (dijelaskan) dalam cerita sejarah bahwa pempimpin mereka Abrahah kembali bersama sekelompok pasukan kecil yang sedikit jumlahnya. Ketika mereka mengabarkan dengan apa yang mereka lihat, binasalah mereka. Hal itu sebagai tauladan dan nasehat.

7). Ibn Ishaq berkata: ketika Allah SWT mengusir orang-orang Habasyah dari Makkah, maka orang-orang Arab menghormati kaum Quraisy. Mereka berkata: orang-orang Quraisy adalah Ahli Allah, Allah membela mereka, cukuplah membuat permusuhan dengan mereka; maka hal tersebut menjadi nikmat dari Allah SWT atas mereka (kaum Quraisy). [wallohu a’lam]
read more “Makna Surat al-Fiil”

Tafsir Dan Ta'wil

A. PENDAHULUAN
Alquran sebagaimana diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam banyak ayat, Alquran menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, (zhulumât) (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûr petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan.
Dialektika antara manusia dengan realitasnya ditengarai turut masuk mempengaruhi proses penafsiran itu. Bukankah Alquran diturunkan bagi manusia, untuk kemaslahatan manusia dan last but not least, untuk "me-manusiakan" manusia (bukan menjadikannya makhluk otomatis seperti robot, mesin, hewan ataupun malaikat). Maka dari diktum itu pulalah, konsep tentang manusia dan identitasnya dalam menjabarkan misi kekhalifahan dan ‘ubudiy-yah di muka bumi menjadi penentu yang determinan dalam proses mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.
Akan tetapi, posisi sentral manusia yang oleh peradaban Barat menjadi tema utama abad pencerahan juga bukan tanpa cela dalam sudut pandang Islam. Manusia dalam kacamata Islam tidak lah hidup dari, oleh dan untuk dirinya sendiri dan terkungkung dalam dunia yang profan ini. Falsafah hidup Islam tidak mengenal mazhab sekularisme yang memisahkan manusia dari dimensi keilahian dan melucuti aspek moral dan nilai dari kegiatan manusia. Falsafah hidup Islam menggariskan bersatunya nilai agama dan dunia, kehidupan manusia untuk misi yang bersifat keduniaan (dunyawi) dan keakhiratan (ukhrawy). Prinsip-prinsip tersebut yang senantiasa harus diindahkan ketika kaum muslim berinteraksi dengan Alquran.
Alquran yang diturunkan kepada nabi Muhammad dan sekaligus menjadi pedoman bagi umat manusia, dimana sudah pasti didalamnya terkandung semua pedoman hidup yang perlu dikaji, dipahami dan diaplikasi-kan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, upaya mengkaji, memahami dan mengaplikasikan Alquran adalah dengan tafsir atau ta’wil.
Makalah berikut ini sekadar mengingatkan kembali apa itu pengertian tafsir dan takwil dan apa perbedaannya. Hal-hal apakah yang diperlukan dalam melakukan tafsir dan takwil. Konsep tafsir dan takwil sangat perlu diketahui umat Islam, sebab Alquran sebagai pedoman hidup tidak mungkin dipahami, kecuali dengan tafsir dan takwil.
Dengan memahami konsep keduanya, pada gilirannya umat akan dapat mengamalkan Alquran dalam kehidupan. Di samping itu, umat akan dapat pula menilai dengan kritis tafsir dan takwil yang sahih dan yang tidak. Sebab, tidak jarang atas nama “tafsir”, segelintir pihak tertentu menularkan pemahamannya yang keliru mengenai ayat Alquran. Mereka berlindung di balik rupa-rupa argumentasi palsu agar tidak dinilai salah atau sesat, misalnya dengan mengatakan bahwa “Alquran” memang mutlak benar, tetapi “tafsir Alquran” adalah relatif dan nisbi.
Meskipun jauh dari ideal, namun ada sebersit harap dalam do’a semoga tulisan ini minimal dapat memperkaya khazanah keilmuan kita semua. Amien…!?

B. TAFSIR DAN TAKWIL
1. Pengertian Tafsir.
Kata Tafsir mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan (al-tabyin), menerangkan (al-idlah), menyingkap (al-kasyf) dan menampakkan (izhhar) makna yang abstrak. Dalam Alquran dinyatakan:
وَلاَ يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا. (الفرقان [25]: 33)
“Tidaklah mareka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuattu yang benar dan paling baik tafsirnya”. (Q.S. al-Furqan [25]: 33).
Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah: “ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Alquran, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkin-kan bagainya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”. Menurut az-Zarkasyi dalam kitab Manhaj al-Furqan (II/6), tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah-nya.
Ada juga yang mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas kitabullah melalui ayat-ayatnya menyangkut maksud Allah sesuai ke-sanggupan manusia. Sebagian ulama memberikan definisi bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafazh-lafazh Alquran, maksudnya, segala hukum lafazh tersebut baik perkata maupun kalimat, serta maknanya ketika tersusun menjadi kalimat dan lain sebagai-nya seperti mengetahui naskh, sabab nuzul, dan hal-hal lain semisal qishah dan matsal.
Tafsir adalah kunci untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam Alquran. Tanpa tafsir, orang tidak bisa membuka gedung simpanan tersebut untuk mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya, sekalipun ia berulang kali mengucapkan lafazh Alquran dan membacanya sepanjang pagi dan petang. Secara sederhana, tafsir dapat diartikan dengan pengertian lahiriah dari ayat Alquran yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki Allah ‘Azza wa Jalla.

2. Pengertian Takwil.
Secara epistimolgi Takwil, berasal dari kata “al-aul” yang artinya kembali. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa takwil itu sinonim (muradlif) dari kata tafsir. Seorang pengarang kamus mengatakan:
أَوَّلَ الْكَلاَمَ تَأْوِيْلاً وَتَأَوَّلَهُ بِمَعْنَى دَبَّرَهُ وَقَدَّرَهُ وَفَسَّرَهُ
Seseorang menakwilkan ucapan dengan suatu takwil, artinya ia merenungkan, memperkirakan dan menafsirkannya.
Di antara firman Allah SWT yang mengemukakan kata takwil dengan makna tafsir adalah:
فَأَمَّا الّّذِيْنَ فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ ... الأية (آل عمران [3]: 7).
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya…”. (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 7).
Kata takwil dalam ayat ini bermakna tafsir dan ta’yin. Atau dengan kata lain tafsir merupakan makna yang jelas dari ayat Alquran tersebut. Takwil juga bisa berarti memalingkan, sebagaimana pada ucapan
أَوَّلْتُهُ فَآلَ أى صَرَّفْتُهَ فَانْصَرَفَ
Aku telah memalingkannya, maka ia berpaling.
Maka takwil berarti memalingkan ayat pada satu makna yang tercakup dalam pengertian ayat yang mungkin mempunyai beberapa pengertian.
Sedangkan dalam terminologi para ahli tafsir (mufassirun), mereka berbeda pendapat dalam memberikan definisi takwil. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwasanya takwil merupakan sinonim (muradif) dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Sementara takwil dalam tradisi ulama mutaakhkhirin adalah memalingkan dan meng-arahkan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa takwil adalah pengertian-pengertian tersirat yang diproses (istinbath) dari ayat-ayat Alquran yang memerlukan perenungan dan pemikiran serta merupakan sarana pembuka tabir. Dari ayat-ayat yang kemungkinan mempunyai beberapa pengertian, para mufassir merujuk pada pengertian yang lebih kuat, lebih jelas dan gamblang. Namun hal ini tidak bersifat pasti (qath’i), karena hukum pasti tersebut telah ditetapkan dalam kitab Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ الله ... الأية (آل عمران [3]: 7)
“Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Alah”... (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 7).

C. PERBEDAAN TAFSIR DAN TAKWIL
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan tafsir dan takwil. Abu Ubaidah dan pengikutnya berpendapat bahwa tafsir dan takwil itu semakna (mutaradif). Dan pendapat ini masyhur menurut para ahli tafsir terdahulu (mutaqaddimin). Ibn Jarir al-Thabary mengatakan dalam tafsirnya, satu pendapat tentang takwil firman Allah ini… atau ahli takwil berbeda pendapat tentang ayat ini… yang dimaksud disini ialah ahli tafsir.
Menurut al-Raghib al-Ashfihany tafsir lebih umum daripada takwil. Tafsir lebih banyak digunakan pada lafazh-lafazh, sedangkan takwil digunakan pada makna-makna, seperti takwil mimpi. Takwil kebanyak-an dipakai dalam kitab-kitab wahyu ilahi, sedangkan tafsir disamping dipakai dalam kitab-kitab tersebut juga dalam hal lainnya.
Al-Maturidy menjelaskan bahwa tafsir berarti memastikan atas maksud (al-murad) dari sebuah lafazh dan membuat kesaksian atas nama Allah bahwa hal inilah yang dimaksudkan oleh Allah. Dan jika didukung dengan adanya dalil qath’i, maka tafsir tersebut berarti benar (shahih). Sedangkan jika tidak ada dalil yang mendukungnya, maka berarti tafsir dengan pendapat sang mufassir (bi al-rakyi).
Menurut Abu Thalib al-Tsa’alaby tafsir berarti menjelaskan asal peletakan dari sebuah lafazh baik bersifat hakiki atau majazi, seperti menafsirkan lafazh al-Shirath dengan al-Thariq, al-Shaib dengan al-Mathar. Sementara takwil menafsirkan lebih mendalam tentang suatu lafazh. Takwil menerangkan tentang maksud yang sebenarnya (haqiqat al-murad) sedangkan tafsir menerangkan tentang dalil dari maksud tersebut.
Al-Kawasyi sependapat dengan al-Baghawy yang menyatakan bahwa takwil adalah mengarahkan ayat pada makna yang paling memungkinkan dari beberapa makna yang sesuai dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya serta tidak bertentangan dengan al-Kitab dan al-Sunnah dengan cara mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah di dalamnya (istinbath). Sedangkan tafsir pembahasan tentang asbab nuzul, keadaan dan kisah yang melatarbelakangi suatu ayat.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tafsir adalah hal-hal yang merujuk pada riwayat, sedangkan takwil merupakan hal-hal yang merujuk pada pengetahuan dan pemahaman (dirayah). Takwil fokus pada aspek memilih pendapat yang kuat (tarjih) dengan cara ijtihad dan melalui pengetahuan arti dari lafazh-lafazh (al-mufradat), indikasi dalam bahasa arab, penggunaan dalam susunan bahasa dan mengetahui batasan-batasan bahasa arab (asalib al-‘arabiyah).
Penyebab banyaknya istilah yang berbeda-beda tentang tafsir dan takwil tersebut menurut al-Zarkasyi adalah perbedaan antara pendapat yang diriwatkan (al-manqul), orang yang melakukan penelitian dan pengkajian atas suatu riwayat dan perspektif atas riwayat tersebut.
Apabila mengikuti pendapat bahwa takwil adalah menfsirkan perkata-an dan menjelaskan maknanya, maka takwil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan atan sama maknanya. Dan apabila mengikuti pendapat bahwa takwil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka takwil dari kata yang mengandung tuntutan (thalab), merupakan esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan takwil dari berita (khabar) adalah esensi dari suatu yang diberitakan.
Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dan takwil cukup besar, sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelaasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya juga berada dalam lisan dengan ungkapan yang menunujukkannya. Sedang takwil adalah esensi sesuatu yang berada pada realita. Namun antara keduanya juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama menerangkan makna-makna Alquran.
Contoh tafsir dan takwil, firman Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 2 yang berbunyi: لاَ رَيْبَ فِيهِ (tidak ada keraguan di dalamnya). Jika diartikan, لاَ شَكَّ فِيْهِ (tidak ada kebimbangan di dalamnya),” maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman” maka ini adalah takwil.
Contoh lain, misalkan firman Allah dalam surah al-An’âm [6] ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-mayyit (Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Jika ayat ini diartikan, “Allah mengeluarkan burung (yang bernyawa) dari telur (yang mati/tidak bernyawa),” maka ini tafsir. Jika diartikan Allah mengeluarkan orang Mukmin dari orang kafir atau orang berilmu dari orang bodoh maka ini takwil.
Contoh lain, firman Allah dalam surah al-Fajr [89] ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku para hamba-Nya, maka itu tafsir. Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah, maka ini adalah takwil.

D. SYARAT-SYARAT, KODE ETIK DAN TATA CARA.
1. Syarat-syarat Mufassir.
Seorang mufassir Alquran perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat). Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh setiap mufassir, antara lain sebagai berikut:
a. Syeikh Jalaluddin as-Suyuthi:
Syarat bagi seorang nufassir adalah menguasai ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu lughah, ilmu isytiqaq, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu badi’, ilmu qiraat, ilmu kalam, ilmu ushul fiqh, ilmu asbabun nuzul, ilmu qashas, ilmu nasikh mansukh, ilmu hadits dan ilmu mauhibah.
b. Syeikh Manna’ al-Qaththan:
Secara ringkas, syarat dan tata cara menafsirkan adalah harus berakidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, menafsirkan lebih dulu, Alquran dengan Alquran, mencari penafsiran dari sunnah, karena al-Sunnah, pendapat para sahabat dan dari tabi’in, mengetahui bahasa Arab dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang bertalian dengan Alquran (‘ulum al-Quran) dan memiliki ketajaman fikiran.

2. Kode etik yang diperlukan oleh mufassir.
Selain mempunyai ilmu pengetahuan yang luas tentang tafsir para mufassir perlu memiliki dan menampakkan budaya yang bagus dan etika yang indah dan bersahaja. Adapun etika yang harus dimiliki oleh mufassir adalah:
a. Niat yang baik dan tujuan yang murni, karena amal perbuatan itu ber-gantung pada niat.
b. Karakter yang baik, sebab mufassir sebagai seorang pendidik yang didikan-nya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal dan akhlaq perbuatan mulia.
c. Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima (oleh khalayak) melalui orang yang mengamalkannya ketimbang dari mereka yang me-miliki ketinggian pengetahuan dan kecermatan kajiannya.
d. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufassir tidak berbicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayat-kannya.
e. Kerendahan hati dan kelembutan, karena kesombongan ilmiah merupa-kan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan ke-manfaatan ilmunya.
f. Berjiwa mulia. Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai peminta-minta yang buta.
g. Terus terang dalam kebenaran, karena jihad paling utama adalah me-nyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa zhalim.
h. Tingkah laku baik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan ter-hormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
i. Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara, tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas, kata demi kata.
j. Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya. Seorang mufassir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka wafat.
k. Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, seperti memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, me-nerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi-segi balaghah dan i'rab yang padanya bergantung penentuan makna.

3. Tata cara menafsirkan Alquran.
Untuk memperoleh hasil penafsiran yang baik dan benar, maka selain seorang mufassir harus memenuhi persyaratan –persyaratan tersebut diatas, juga harus ditempuh pula adab-adab mufassir yang benar dan baik. Secara global tata cara menafsirkan Alquran yang benar dan baik adalah:
a. Menafsirkan Alquran lebih dahulu dengan Alquran, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang kemungkinan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
b. Menafsirkan Alquran dengan keteranagan Al-Sunnah, karena sunnah ber-fungsi sebagai pensyarah Alquran dan penjelasannya.
c. Menafsirkan Alquran dengan pendapat para Sahabat apabila tidak didapat-kan penafsiran dalam sunnah, karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Alquran, mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Alquran diturunkan disamping mereka mempunyai pe-mahaman (penalaran) sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shalih.
d. Menafsirkan Alquran dengan pendapat Tabi’in, apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Alquran, sunnah maupun dalam pendapat para sahabat, menurut sebagian besar para ulama.
e. Menafsirkan Alquran menurut kaidah-kaidah bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat bergantung pada penguraian kosa kata (mufradat) lafazh-lafazh dan pengertian-pengertian yang ditunjukkan menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat.

4. Syarat-Syarat Ta’wîl.
Para ulama ushul telah menetapkan syarat-syarat takwil agar takwil yang dihasilkan dapat diterima (maqbul) dan sahih. Ada 4 (empat) syarat, yaitu:
a. Takwil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syariat, atau makna ‘urfi (makna kebiasaan orang Arab). Misalnya, takwil kata quru’ (dalam Qs. al-Baqarah [2]: 228) dengan arti haid atau suci adalah takwil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru’. Takwil yang tidak sesuai makna bahasa, syariat, atau ‘urfi, tidak diterima.
b. Takwil harus berdasarkan dalil yang sahih dan râjih (kuat), misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus (takhshish), atau memberikan batasan (taqyid) nash mutlak berdasarkan dalil yang men-taqyîd-kan. Karena itu, takwil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tetapi dalilnya lemah (marjuh), atau musawi (sederajat kekuatannya) dengan kata yang ditakwil, tidak diterima.
c. Kata yang ada memang memungkinkan untuk ditakwil (qabil li at-ta’wil). Misalkan, katanya adalah kata umum yang dapat di-takhshîsh, atau kata mutlak yang dapat diberi taqyîd, atau kata bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna majazi (metaforis), dan sebagainya. Karena itu, jika takwil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima.
d. Orang yang menakwil memiliki kapasitas keilmuan untuk melakukan takwil. Karena itu, takwil yang dilakukan orang bodoh (jâhil) dalam bahasa Arab atau ilmu-ilmu syariat (al-ma’ârif al-syar‘îyyah) tidak dapat diterima. Sebab, orang yang hendak melakukan takwil haruslah ber-kualifikasi mujtahid yang memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat.

E. SIMPULAN
Tafsir dapat diartikan dengan pengertian lahiriah dari ayat Alquran yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan takwil bisa diartikan sebagai pengertian-pengertian tersirat yang diproses (istinbath) dari ayat-ayat Alquran yang memerlukan perenungan dan pemikiran serta merupakan sarana pembuka tabir.
Tafsir dan takwil menurut ulama mutaqaddimin, makna dari keduanya sama (muradif), sedangkan menurut ulama muta’akhirin pengertian keduanya berbeda. Menurut Az-Zarkasyi pendapat yang tepat ialah yang membedakan keduanya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tafsir adalah hal-hal yang merujuk pada riwayat, sedangkan takwil merupakan hal-hal yang merujuk pada pengetahuan dan pemahaman (dirayah).
Tafsir dan takwil merupakan media untuk memahami Alquran yang bisa dilakukan oleh siapa saja yang telah memenuhi syarat-syarat, kode etik, tata cara yang telah dirumuskan oleh para ulama. Hal ini bukan berarti menutup pintu serapat-rapatnya untuk memahami Alquran. Akan tetapi agar terhindar dari penafsiran ataupun penakwilan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, (Beirut, Daar el-Fikr, 2005).
Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, (Beirut, Dar el-Fikr, tt).
Al-Amidi, Al-Ihkâm fi Ushul al-Ahkam, (Beirut, Dar el-Fikr, tt).
Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
‘Abd al-‘Azhim al-Zarqany, Manahil al-‘Irfan fi Ulum Alquran, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
‘Abd al-Qadir Manshur, Mausu’ah ‘Ulum Alquran, (Suriyah, Dar al-Qalam al-‘Araby, cet ke-1 2002).
Al-Jurjani, At-Ta‘rifat, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
‘Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum Alquran, (Beirut, Alam al-Kitab, cet. pertama, 1985).
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Alquran, (Kairo, Dar al-Turats, cet ke-3, 1984).
Khadim al-Haramain, Alquran dan Terjemahnya 1971.
Manna’ al-Qatthan, Mabahits fi Ulum Alquran, (Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973).
M. Husain al-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut, Syirkah Dar al-Arqam, tt).
Wahbah Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, (Beirut, Dar el-Fikr, tt).
read more “Tafsir Dan Ta'wil”

CINTA DALAM AL-QUR’AN

Oleh : Syathiby

Ragam Cinta Dalam Quran
Siapa orang yang tidak pernah jatuh cinta? Indah berbunga-bunga atau berdebar-debar. berbagai ragam cinta ternyata dalam bahasa Arab memiliki 60 jenis istilah cinta, seperti: isyqun (asyik), hilm, gharam (asmara), wajd, syauq, lahf dan sebagainya yang mana al-Quran menyebutnya seperti:
1. Cinta mawaddah (Q/30:31) adalah jenis cinta menggebu-gebu, membara dan nggemesi. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ini adalah ragam cinta yang terpuji.
2. Cinta rahmah (Q/30:31) adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Ini adalah ragam cinta yang terpuji dan harus ditempatkan pada prosedur yang arif dan bijak.
3. Cinta mail adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain kurang diperhatikan. Cinta mail dalam Quran disebut dalam konteks orang poligami yaitu ketika sedang jatuh cinta kepada yang lebih muda (an tamilu kulla al mail) cenderung mengabaikan istri tua. Ini adalah cinta yang tercela, karena mengabaikan hak cinta yang lain, padahal ia juga berhak dicintai dengan kadar yang sama.
4. Cinta syaghaf adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al-Quran menggunakan term syaghaf mengisahkan cinta Zulaikha kepada Nabi Yusuf AS. Ini cinta yang tercela, karena terlalu berlebihan sehingga bisa mengabaikan cinta kepada Allah.
5. Cinta ra'fah yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran. Misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkan untuk shalat subuh, membelanya mesti salah. Quran menyebutkan term ini agar janganlah cinta ra'fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah SWT, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2). Ini adalah cinta yang tercela, karena meninggalkan norma-norma keseimbangan cinta.
6. Cinta shobwah yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku menyimpang tanpa sanggup mengelak. Quran menyebut term ini ketika mengisahkan nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaikha. (wa illa tashrif'anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min aljahilin (Q/12:33). Ini juga term cinta yang tercela, karena adanya penyimpangan dari garis yang lurus.
7. Cinta syauq (rindu) term ini bukan dari Quran tapi hadist yang menafsirkan Quran. Dalam surat al-ankabut ayat 5 dikatakan barangsiapa rindu berjumpa Allah SWT waktunya pasti akan tiba. Kalimat kerinduan ini diungkapkan dalam doa ma'tsur dari hadist ahmad: wa as'aluka ladzzata an andzori ila wajhika wa as syauqa ila
liqa'ika. "Aku mohon dapat merasakan nikmatnya mamandang wajah-Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa denganMu". Ini adalah term cinta terpuji, karena cinta ini bisa menjadi motivasi untuk melakukan kebaikan.
8. Cinta Widad (kasih), merupakan sifat cinta dan intinya. Al-Wadud merupakan sifat Allah. Ada dua makna tentang sifat ini: Allah yang dicintai, dan Allah yang mencintai hamba, seperti sifat-Nya Al-Ghafur, yang berarti memberikan ampun dan yang menerima ampunan serta taubat. Ini adalah cinta yang terpuji.
9. Cinta kepada sesembahan selain Allah (sehingga mengagungkannya), baik itu berupa malaikat, jin, syetan, harta benda, kedudukan, anak istri dan lainnya. Ini adalah cinta yang tercela, karena mencintainya terlalu berlebihan sehingga terjadi penyimpangan cinta.
read more “CINTA DALAM AL-QUR’AN”

Resensi Kitab Tadzhib al-Kamal Fi Asma' al-Rijal

Oleh: Syathiby

Judul Kitab : Tadzhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal.

Penulis : Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf Ibn al-Zaki al-Mizzi (654-742 H).

Muhaqqiq : Dr. Basyar ‘Awwad Ma’ruf

Penerbit : Beirut, Muassasat al-Risalah (cetakan ke 2, 1983 M/1403 H).

Jumlah Jilid : 35 Jilid.



A. Biografi Penulis.

Beliau adalah al-Hafizh Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf Ibn al-Zaki Abd al-Rahman bin Yusuf bin Ali bin Abd al-Mulk bin Ali bin Abi al-Zuhr al-Kalbi al-Kudha’i al-Mizzi pada malam tanggal 10 rabiul Akhir 654 H dari kabilah Arab yang menetap di Negeri Syam pada masa pemerintahan Daulah Ayyubiyah. Kemudian ia pindah ke Damaskus, ia menetap di Mizzah di tengah perkebunan Damaskus sebelah barat daya. Di sana terdapat makam sahabat Dihyah bin Khalifah bin Farwal al-Kalbi al-Kudla’i. [1] Basyar ‘Awwad Ma’ruf, Muqaddimah Tadzhib al-Kamal, (Beirut, Mussasat al-Risalah, cetakan ke-2, 1983), 13-14.

Al-Mizzi pertama kali belajar pada tahun 675 H. (pada usia 21 tahun). Menurut al-Dzahabi ayah al-Mizzi Syaikh Zaki al-Din ‘Abd al-Rahman adalah seorang ulama yang hafal Alquran (al-‘Alim al-Muqri’), hanya saja tidak ada yang menulis biografinya. [1] Ibid, 14. Al-Mizzi kali pertama belajar hadits Zain al-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Abi al-Khair Salamah bin Ibrahim al-Dimasyqi al-Haddad al-Hambali (589-678 H). [2] Ibid, 15.

Dari syeikh Ahmad bin Abi al-Khair, al-Mizzi belajar kitab al-Hilyah karya Abu Nu’aim dan banyak lagi darinya al-Mizzi mendapatkan kedudukan ilmu yang tinggi sehingga riwayat sejumlah ulama yang tsiqah darinya, antara lain: Saraf al-Din al-Dimyathi, Ibn al-Hulwaniyah, Ibn al-Khabbaz, Ibn al-‘Aththar, Ibn Taymiyah, al-Birzaly dan banyak lagi selain dari mereka. Bahkan Ibn Hajib pernah belajar darinya di Arafah pada tahun 620 H. [3] Ibid, 15-16.

Sejak saat itu al-Mizzi mengarahkan cita-citanya untuk belajar Hadits. Maka ia banyak mengaji kitab-kitab pokok yang besar seperti al-kutub al-sittah, musnad al-Imam Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir karya Abi al-Qasim al-Thabrani, Tarikh Madinah al-Salam karya al-Khathib al-Baghdadi, Kitab al-Nasb karya Zubair bin Bakkar, al-Sirah karya ibn Hisyam, Muwaththa’ al-Imam Malik, al-Sunan al-Kabir, Dalail al-Nubuwah karya al-Baihaqy.

Kemudian al-Mizzi mengembara di kota-kota negeri Syam. Ia pernah belajar di al-Quds al-Syarif (Yerussalem), Himsha, Himah, dan Ba’albakk. Sesudah itu ia menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah dan Madinah. Setelah itu ia pergi ke negeri-negeri Mesir. Ia belajar di Kairo, Alexandria, dan Bilbis sampai pada tahun 683 H. Di Alexandria ia belajar kepada Shadr al-Din Sahnun (w.695 H) sampai pada tahun 684 H. [4] Ibid, 16.

Al-Mizzi sakit pada awal-awal bulan Shafar tahun 742 selama bebe-rapa hari. Sakitnya mula-mula ringan saja, sehingga tidak menghalanginya, memberikan pelajaran, dan mengajarkan hadits (juz ke-3 Tadzhib al-Kamal) pada hari kamis 10 Shafar 742 H. Pada hari Sabtu tanggal 12 Shafar 742 H beliau wafat, dan dimakamkan di samping makam isterinya ‘Aisyah bint Ibrahim bin Shadiq yang meninggal sembilan bulan sebelumnya, di sebelah barat makam Ibn Taimiyah. Di antara putranya yang terkenal adalah ‘Abd al-Rahman bin Yusuf (687-749 H). [5] Ibid, 34-36.

Banyak dari para sejarawan (muarrikhun) belajar dari al-Mizzi. Mereka kemudian membuat biografi al-Mizzi dengan versi yang tidak sama panjang pendeknya, macam-macam pengetahuan yang diajarakan olehnya. Kami menemukan sebuah kesimpulan tentang bagaimana ia menuntut ilmu, murid-muridnya, murid-murid dari mereka dan begitu seterusnya.

Di antara ulama yang berguru kepada al-Mizzi adalah Ibn Taimiyah (w.728 H), Ibn Sayyid al-Nas al-Ya’mary (w. 734 H), Syams al-Din al-Dzahaby (w. 748 H), Taqiy al-Din al-Subki (w. 756 H), ‘Alam al-Din al-Birzaly (w. 739 H), Abu ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Hadi (w. 744 H), Shalah al-Din Khalil bin Kaikaldi al-‘Alai (w. 761 H), ‘Ala’ al-Din Mughulthay al-Hanafi (w. 762 H), Ibn Rafi’ al-Salami (w. 774 H), ‘Imad al-Din Ibn Katsir (w. 774 H). [6] Ibid, 30.

Ulama satu masa dengan al-Mizzi yang telah menulis biografinya: Ibn Sayyid al-Nas al-Ya’mari (w. 734 H), Alamuddin al-Birzali (w. 739 H), Syamsuddin adz-Dahabi (w. 748 H), Ibn-al-Wardi (W. 749 H), Shalahuddin al-Shifdi (W. 764 H), Ibn Syakir al-Kutubi (w. 764 H), Syamsuddin al-Husaini (w. 765 H), Tajuddin al-Subki (w. 771 H), Jamaluddin al-Asnawi (w. 772 H), Taqiyuddin Ibn Rafi’ al-Salami (w. 774 H), dan Imad al-Din Ibn Kasir (w. 774 H). [7] Ibid, 9-10.

Di samping itu ada juga segolongan ulama setelah al-Mizzi yang menulis biografinya, antara lain Ibn Nashr al-Din al-dimasqi (w. 842 H), al-Maqrizi (w. 845 H), Ibn Qdhi Syuhbah (w. 851 H), Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Ibn Taghri Bardi (w. 874 H), al-Sakhawi (w. 902 H), al-Suyuti (w. 911), al-Nuaimi (927 H), Ibn Thulun (w. 953 H), Thasy Kubra Zadah (w. 967 H), Ibn Hidayat Allah al-Mushannif (w. 1014 H), Ibn al-‘Imad al-Hambali (w. 1089 H), al-Syaukani (w. 1250 H). [1] Ibid, 10.

Pada umumnya salah seorang dari mereka tidakalah menukil dari lainnya. Akan tetapi kami menemukan mayoritas biografi yang ditulis hal-hal yang bagus dan kemanfaatan adalah biografi yang ditulis oleh al-Dzahabi, al-Shifdi, al-Subki, Ibn Kasir dan Ibn Hajar karena mencakup pengetahuan.

Al-Mizzi pernah bertemu dan bersahabat dengan tiga orang guru besar (Syaikh) pada zaman itu. Mereka adalah Syaikh al-Islam Taqi al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Halim yang terkenal dengan Ibn Taimiyah al-Harani (661-728 H), ‘Alam al-Din Abu Muhammad al-Qasim bin Muhammad al-Birzali (665-739 H), dan Syamsu al-Din Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (673-748). Al-Mizzi adalah yang tertua dari mereka. Mereka saling bertukar ilmu (share) sama lain. [8] Ibid, 18.



B. Kiprah penulis dalam keilmuan utamanya ulumul hadits.

Al-Mizzi pernah menjadi pemimpin lembaga pendidikan Hadits terbesar di Damaskus yaitu Dar al-Hadits al-Asyrafiyah pada hari Kamis 23 Dzi al-Hijjah 718 H. Lembaga tersebut juga pernah dipimpin oleh ulama ahli Hadits, diantaranya Taqi al-Din Ibn al-Shalah (577-643 H), Ibn al-Harastani (557-662 H), Abu Syamah (559-665 H), Muhyi al-Din al-Nawawi (631-676 H) dan lain-lain. [1] Ibid, 26-27.

Di samping itu, al-Mizzi juga mengajar di lembaga pendidikan Dar al-Hadits al-Himshiyah yang dikenal dengan nama Halaqah Shahib Himsha. Dan pada tahun 739 H al-Mizzi menjadi pimpinan lembaga pendidikan Hadits termaju di Damaskus yakni Dar al-Hadits al-Nuriyah, sampai ia wafat. Beliau menjadi ahli hadits selama 50 tahun lebih. Sedikit sekali ahli ilmu di Damaskus yang tidak berguru kepadanya. Menurut al-Dzahabi, pada umum-nya para ahli Hadits di Damaskus berguru kepadanya, dan mengakui akan keutamaannya.

Al-Mizzi mempunyai tempat yang agung diantara ulama Abad ke 8 H dalam hadits, ulum al-Hadits dan ilmu yang berhubungan demgan keduanya kemashurannya semakin tegak di atas 2 kitab besar yang ditulisnya dalam fan hadits dan ulum al-hadits yaitu tuhfat al-Asyraf dan Tahdzib al-Kamal.

Kitab Tuhfah al-Asyraf bi Ma’rifah al-Athraf terbilang sebagai kitab terbesar yang ditulis dalam al-Kutub al-Sittah. Sistematika kitab ini menghimpun biografi nama-nama sahabat, tabi’in yang terdiri dari 1.395 musnad dengan 995 hadits musnad yang dinisbatkan pada sahabat setelah mengurutkan nama-nama mereka berdasarkan urutan Mu’jam dan 400 hadits mursal yang dinisbatkan pemimpin tabi’in dan generasi setelahnya dengan urutan nama-nama sesuai huruf-huruf Mu’jam.

Kitab al-Asyraf selanjutnya diringkas oleh Abu al-Abbas Ahmad bin Sa’ad bin Muhammad al-Darasi (w. 750 H) dan dinamai al-Umdah fi Mukhtashar al-‘Atraf. Kitab terbesar al-Mizi yang kedua adalah kitab Tadzhib al-Kamal ini. Kitab ini dianggap sebagai kitab terbesar dalam ilmu Rijal al-Hadits, dan sampai sekarang belum ada seorang pun yang dapat menulis kitab yang lebih baik dari kitab ini.

Kitab ini mulai ditulis pada tahun 705 H dan baru dipresentasikan satu tahun kemudian yaitu tahun 706 H. Al-Mizzi menyelesaikan kitab al-Kamal pada 712 H (selama 12 tahun), tertulis dalam 14 jilid. Sampai pada tahun 742, karya al-Mizzi ini telah dipresentasikan sebanyak lima kali. Kitab-kitab lain karya al-Mizzi antara lain:

- Muqaddimah Shahih Muslim.

- Kitab al-Marasil Abi Daud.

- Kitab al-‘Ilal al-Turmudzi.

- Kitab al-Sama’il al-Tirmidzi.

- Kitab ‘Amal Yaum wa Lailah Nasa’i.



Komentar para ulama tentang Abu al-Hajjaj al-Mizzi.

P Di Damaskus saya menemukan dari ahli ilmu (ilmuan) seorang al-hafizh yang mengungguli orang-orang setelahnya dan orang-orang yang mendahuluinya ia adalah Abu al-Hajjaj al-Mizzi. (Ibn Sayyid al-Nas al-Ya’mari, w.734 H).

P Al-Mizzi adalah penutup para penghafal hadits, kritikus sanad-sanad dan lafazh-lafazh hadits. Ia adalah orang yang menjadi tempat pengaduan dilemma-dilema dan memberikan penjelasan tentang problema-problema. Saya belum pernah melihat seseorang dalam kedudukan ini yang lebih akomodatif dari pada imam Abi Hajjaj al-Mizzi. (al-Dzahabi, w.748 H).

P Saya tidak pernah melihat pada guru-guru saya setelah al-Mizzi orang yang seperti dia dalam hal bahasa Arab. (al-Shalah al-Shifdi, w 764 H).

P Beliau adalah imam para ahli hadits (al-muhadditsin). Demi Allah jika saja al-Daruquthni masih hidup, maka ia akan merasa segan untuk mengajar di tempat al-Mizzi. (Taqi al-Din al-Subki, w. 756 H). [1] Ibid, ….

P Guru kami, panutan kami adalah syeikh Jamal al-Din al-Abu al-Haj al-Mizzi, penghafal hadits di zaman kami dan pembawa panji-panji ahlussunnah wal-jama’ah. (al-Taj al-Subki, w. 771 H). [1] Ibid, 30-34.



C. Sistematika Penulisan Kitab.

Orang yang pertama kali menulis kitab tentang guru-guru penulis al-Kutub al-Sittah adalah al-Hafizh al-Syam Abi al-Qasim Ibn ‘Asakir (499-571 H) dalam kitabnya “al-Mu’jam al-Musytamil ‘ala Dzikri Asma’ Syuyukh al-Aimmah al-Nabil”. Kitab ini menggunakan sistematika sebagai berikut:

1. Meringkas atas guru-guru penulis kutub al-Sittah,

2. Mengurutkan para penulis berdasarkan urutan mu’jam, memulai dengan nama Ahmad,

3. Menulis biografi guru-guru penulis al-kutub al-sittah secara ringkas dengan hanya menyebutkan nama dan kebangsaannya, dan mencantumkan dengan kejadian penting yang menyertainya.

4. Membuat kode-kode untuk penulis al-kutub al-sittah sebagai berikut: (kha’)= al-Bukhari, (mim)= Muslim, (ta’)= Tirmidzi, (nun)= Nasai, dan (qaf)= Ibn Majah al-Qazwini.

Setelah itu al-Hafizh Abu Muhammad ‘Abd al-Ghani bin ‘Abd al-Wahid al-Maqdisi al-Jama’ili al-Hanbali (544-600) menulis kita al-Kamal fi Asma’ al-Rijal yang menuliskan tentang para perawi al-kutub al-sittah. Al-Hafizh ‘Abd al-Ghani tidak meringkas pada guru-guru penulis al-Kutub al-Sittah, akan tetapi menyebutkan seluruh perawi dari kalangan sahabat, tabi’in, atba’ al-Tabi’in sampai pada guru-guru penulis al-Kutub al-Sittah yang tercantum di dalamnya.

Sistematika dalam kitab al-Kamal adalah sebagai berikut:

1. Menyebutkan seluruh perawi yang tercantum dalam al-Kutub al-Sittah.

2. Menjelaskan kondisi-kondisi para perawi.

3. Menggunakan ungkapan yang menunjukkan adanya perawi dalam al-Kutub al-Sittah atau sebagiannya, misalnya rawa lahu al-jama’ah, jika tercantum dalam al-Kutub al-Sittah, ittafaqa ‘alaih atau muttafaq ‘alaih jika termasuk perawi yang dikeluakan haditsnya oleh al-Bukhary dan Muslim dalam Shahihain. Sedangkan untuk selainnya dengan penyebutan nama.

4. Memulai kitabnya dengan Sejarah Nabi Muhammad SAW secara singkat yang diambil dari kitab al-Sirah karya Ibn Hisyam dalam satu halaman saja. Dilanjutkan dengan satu pasal tentang pendapat para imam mengenai kondisi-kondisi para perawi sampai delapan halaman.

5. Memisahkan para sahabat dari perawi yang lain dengan menempat-kan mereka di awal kitab dan memulai dengan sepuluh orang sahabat yang di-jamin masuk surga. Memisahkan perawi laki-laki dari perawi wanita, menuliskan perawi pria terlebih dahulu, kemudian perawi wanita. Sedangkan para perawi selainnya diurutkan berdasarkan huruf-huruf al-Mu’jam dan dimulai dengan nama “Muhammad”.

Al-Hafizh Jamal al-Din al-Mizzi mempelajari kitab al-Kamal karya al-Hafizh Abd al-Ghani. Ia menemukan di dalamnya kekurangan-kekurangan pada kebanyakan nama-nama hingga mencapai ratusan jumlahnya. Ia kemudi-an memutuskan untuk menyusun kitab baru yang didasarkan pada nama-nama perawi dalam kitab al-Kamal.

Kitab baru ini dinamakan Tadzhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal. Al-Mizzi memulai penulisan kitabnya pada tanggal 9 Muharram 705 H dan selesai pada hari raya Adha 712 (selama tujuh tahun). Sebagian ulama mempunyai salah persepsi bahwa al-Mizzi hanya meringkas kitab al-Kamal karya Abd al-Ghani ketika menulis kitab Tadzhib al-Kamal.

Seolah-olah mereka menghubung-hubungkan dua kalimat al-Ikhtishar dan al-Tadzhib dengan asumsi bahwa al-Tadzhib mengindikasikan adanya perbaikan. Sebenarnya al-Mizzi telah melampaui kitab al-Kamal yang men-jadikannya tidak terkait dengan kitab tersebut, baik isinya, susunannya atau-pun bentuknya. Jadi Kitab al-Tadzhib bukanlah ringkasan kitab al-Kamal.

Keunggulan-keunggulan kitab al-Tadzhib dari al-Kamal antar lain:

a. Abd al-Ghani meringkas kitab al-Kamal pada para perawi al-Kutub al-Sittah. Kemudian al-Mizzi menambahkan perawi-perawi yang terlewat-kan, dan membuang sebagian perawi yang tidak memenuhi kritertia sebagai berikut:

1). Al-Bukhari:

a). Kitab al-qiraah khalf al-imam.

b). Kitab raf’ al-yadain fi al-shalat.

c). Kitab al-adab al-mufrad.

d). Kitab khalq af’al al-‘ibad.

e). Ma istasyhada bihi fi al-shahihain ta’liqan.

2). Muslim:

f). Muqaddimah kitabihi al-shahih.

3). Abu Dawud:

g). Kitab al-marasil.

h). Kitab al-radd ‘ala ahl al-qadr.

i). Kitab al-nasikh wa al-mansukh.

j). Kitab al-tafarrud (wahuwa ma tafarrada bihi ahl al-mashar min al-sunan).

k). Kitab fadlail al-anshar.

l). Kitab masail al-imam Ahmad (wahiya al-masail allati saala ‘anha aba ‘abd Allah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal).

m). Kitab musnad hadits Malik bin Anas.

4). Al-Tirmidzi:

n). Kitab al-syamail.

5). Al-Nasai:

o). Kitab ‘amali yaum wa lailah.

p). Kitab khashaish Amir al-mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radliyallah ‘anhu.

q). Kitab musnad ‘Ali radliyallah ‘anh.

r). Kitab musnad hadits Malik bin Anas.

6). Ibn Majah al-Qazwini:

s). Kitab al-tafsir.

Dengan hal tersebut al-Mizzi menambahkan biografi perawi dari kitab al-Kamal lebih dari 1.700 biografi.

b. Al-Mizzi menyebutkan sejumlah biografi untuk membedakan, yaitu biografi-biografi yang sesuai dengan al-Kitab al-Sittah dalam nama dan tingkatannya.

c. Al-Mizzi menambahkan kebnyakan biografi asal pokok-pokok sejarah yang baru tentang guru dari pemilik biografi tersebut, perawi yang meriwayatkan darinya, atau wafatnya dan lain-lain.

d. Al-Mizzi menambahkan empat pasal penting pada akhir kitabnya yang tidak disebutkan oleh pengarang kitab al-Kamal, yaitu:

1). Fashl fi man isytahara bi al-nisbati ila abihi aw jaddihi aw ummihi aw ‘ammihi aw nahwi dzalik.

2). Fashl fi man isytahara bi al-nisbati ila qabilah aw baldah aw shina’ah aw nahwi dzalik.

3). Fashl fi man isytahara bi laqab aw nahwihi.

4). Fashl fi al-mubhamat.

e. Al-Mizzi merujuk pada sumber-sumber asli yang tidak dilakukan oleh pengarang kitab al-Kamal.

Tambahan-tambahan yang mendasar ini menjadikan kitab al-Tadzhib tiga kali lipat lebih besar. Al-Tadzhib memiliki 250 bagian hadits yang tertulis dalam 40 halaman. Secara keseluruhan al-Mizzi menyusun kitabnya dalam 10.000 halaman, tiap halaman terdiri dari 21 baris. Al-Mizzi menyusun kitabnya dengan susunan yang baru, baik bentuk-nya secara umum maupun pokok-pokok dari setiap biografi. Ia membuat susunan dalam sebagian kitabnya dengan susunan yang belum pernah di-lakukan sebelumnya.

Hal-hal yang membedakan al-Tadzhid dengan al-Kamal antara lain:

1). Pengarang al-Kamal memisahkan para sahabat dari para perawi yang lain. Ia menyebutkan para perawi laki-laki kemudian perawi perempuan dan perawi setelahnya. Sedangkan al-Mizzi menyebutkan semuanya dengan satu susunan. Ia mengurutkan semua perawi berdasarkan urutan al-Mu’jam pada nama-nama perawi, bapak-bapak mereka dan kakek-kakek mereka. Ia memulai dengan nama Ahmad pada huruf Alif dan memulai dengan nama Muhammad pada huruf mim. Hal ini juga ia lakukan dalam pasal-pasal tentang kunyah, nasab, dan laqab. Begitu juga dengan urutan nama para perawi wanita.

2). Al-Mizzi memindahkan nama-nama perawi sesuai kemasyhurannya.

3). Al-Mizzi membedakan nama-nama yang ia tambahkan dari biografi kitab al-Kamal dengan tanda yang berbeda. Ia menulis nama perawi dan nama ayah dari perawi tesebut.

4). Al-Mizzi mengulangi susunan biografi dari para guru dan para perawi setelah memberi banyak tambahan.

5). Al-Mizzi memberikan masing-masing pengarang kode yang meng-indikasikan sebanyak 27 kode. Enam untuk al-Ushul al-Sittah, 1 kode untuk yang disepakati dalam al-Kutub al-Sittah, 1 kode untuk yang disepakati pengarang kitab al-Sunan yang empat, dan 19 kode untuk kitab-kitab yang ditulis oleh penulis al-Kutub al-Sittah yang lain. Kode-kode ini ditulis di atas setiap nama pemilik biografi dengan warna hitam, karena penulisan nama-nama dengan warna merah.

Kitab al-Tadzhib karya al-Mizzi diringkas oleh beberapa ulama setelahnya. Ada empat kitab yang merupakan ringkasan dari kitab karya al-Mizzi tersebut, yaitu:

1. Tadzhib al-Tadzhib.

2. Al-Kasyif fi Ma’rifat man lah Riwayat fi al-Kutub al-Sittah.

3. Al-Mujarrad min Tahdzib al-Kamal.

4. Al-Muqtadlab min Tahdzib al-Kamal.



D. Point-point Penting dalam Tadzhib al-Kamal.

Jilid pertama, tentang sejarah singkat Nabi Muhammad S.A.W., nama-nama beliau, putra-putri beliau, haji dan umrah Nabi, khadim Nabi, budak-budak Nabi, hewan peliharaan dan kendaraan Nabi, sifat-sifat dan akhlaq Nabi. Pada akhir jilid ini dimulai penulisan nama-nama rijal al-hadits yang diurutkan berdasarkan urutan mu’jam serta dimulai dengan nama Ahmad.

Jilid ke-dua dan ke-tiga, berisi nama-nama perawi yang diawali dengan huruf alif seperti: Aban, Asma’, Isma’il, Ayyub dan lain-lain. Jilid ke-empat, nama-nama yang dimulai dengan huruf ba’, ta’, tsa’, jim seperti: Badzam, Bajalah, Bujair, Tuba’i, Tilb, Talid, Tsabit, Jaban, Jabir dan lain-lain. Jilid ke-lima, nama-nama yang dimulai dengan huruf jim, dan ha’ seperti: Ja’far, Ju’ail, Habs, Hatim, Hajib dan lain-lain. Jilid ke-enam dan ke-tujuh, nama-nama yang dimulai dengan huruf ha’, dimulai dengan nama Hussam, Hasan, Hafs, Hakam, Hammad dan lain-lain.

Jilid ke-delapan, nama-nama yang dimulai dengan huruf kha’, dal, dzal, seperti Kharijah, Khalid, Darim, Daud, Dzakwan, Dzuhail dan lain-lain. Jilid ke-sembilan, nama-nama yang dimulai dengan huruf ra’, dan zai, seperti: Rasyid, Rafi’, Zubair, Zuhairi, Zakariya dan lain-lain. Jilid ke-sepuluh, ke-sebelas dan ke-duabelas, nama-nama yang dimulai dengan huruf zai, sin, syin seperti: Zaid, Sahim, Sa’d, Sa’id, Sufyan, Sulaiman, Syuja’, Syu’aib, Syihab dan lain-lain.

Jilid ke-tiga belas, ke-empat belas, ke-lima belas, ke-enam belas, ke-tujuh belas, ke-delapan belas, ke-sembilan belas, ke-dua puluh, ke-dua puluh satu, ke-dua puluh dua, ke-dua puluh tiga, nama-nama yang dimulai dengan huruf shad, dladl, tha’, zha’, ‘ain, ghain, fa’, qaf, seperti: Shalih, Shafwan, al-Dlahhad, Dlamran, Toriq, Talhah, ‘Asim, ‘Amir, ‘Ubbad, ‘Abbas, ‘Abdullah, ‘Abdurrahman, ‘Abdul Aziz, ‘Ubaidillah, ‘Usman, ‘Atha’, ‘Ali, ‘Umar, ‘Amr, ‘Imran, ‘Isa, Ghani, al-Fadl, Fudlail, al-Qasim, Qatadah, dan lain-lain.

Jilid ke-dua puluh empat, nama-nama yang dimulai dengan huruf qaf, kaf, lam, seperti: Qa’is, Kasir, Ka’b, Luqman, Laits, dan lain-lain. Jilid ke-dua puluh lima, ke-dua puluh enam, ke-dua puluh tujuh, ke-dua puluh delapan, ke-dua puluh sembilan, dan ke-tiga puluh, nama-nama yang dimulai dengan huruf mim, dan nun seperti: Muhammad, Mus’ab, Musa, Maisah, Maimun, Nafi, Nashr, Nuh, Naufal, dan lain-lain.

Jilid ke-tiga puluh satu dan ke-tiga puluh dua, nama-nama yang di-mulai dengan huruf wawu, lam-alif, dan ya’, seperti: Washil, Waki’, al-Wahid, Wahb, Lahiq, Yasin, dan Yahya dan lain-lain. Jilid ke-tiga puluh tiga, kitab Kuna (nama-nama yang dimulai dengan Abb, Umm dan sejenisnya). Jilid ke-tiga puluh empat, nama-nama yang terkenal yang dinisbatkan pada nama qabilahnya. Jilid ketigapuluh lima, menjelaskan orang-orang yang tekenal yang dinisbatkan kepada Suku, Negeri, pekerjaan, dan gelar (laqab). Para perawi yang masih samar, perawi dari kalangan wanita dan kunyah perawi wanita. [wallohu a’lam].
read more “Resensi Kitab Tadzhib al-Kamal Fi Asma' al-Rijal”

Manipulasi Data

Pilkada ini sangat tergantung pada kelancaran dalam proses pengambilan suara dan proses penghitungan hasil suara. Pada prakteknya pada saat perhitungan suara muncul indikasi-indikasi kecurangan. Indikasi kecurangan ini tidak hanya terjadi di TPS (Tempat pengambilan Suara) setempat tapi juga bisa terjadi di level di atas, contohnya di kecamatan atau di tempat lainnya. Hal ini disebabkan karena hasil perhitungan suara dari tiap-tiap TPS harus dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dihitung total keseluruhan. Tidak hanya indikasi kecurangan yang menjadi isu tetapi juga kecepatan dari proses perhitungan total.
Dalam penghitungan manual yang diselenggarakan KPUD Jatim di Hotel Mercure, Surabaya, Senin (11/11), pasangan Soekarwo – Syaifullah Yusuf memperoleh 7.729.944 suara (50,2%), selisih 60.000 suara dari pasangan Khofifah Indar Parawansa – Mudjiono yang memperoleh 7.669.721 suara (49,8%). Walaupun selisih 0,4% dari Kaji, Karsa sah menjadi Gubernur Jatim yang baru. Berdasarkan hasil penghitungan tersebut pasangan Soekarwo – Syaifullah Yusuf unggul di 22 kabupaten/kota, sedangkan pasangan Khofifah Indar Parawansa – Mudjiono hanya meraup suara di 16 kabupaten/kota. Dominasi perolehan suara pasangan Soekarwo – Syaifullah Yusuf didapat dari 4 kabupaten di Madura.
Hal tersebut merupakan jawaban dari ketidakpastian atas hasil quick account. Valid tidaknya perhitungan cepat sering diperbincangkan, hal ini dikarenakan quick account dari beberapa lembaga survei menunjukkan Kaji unggul tipis dari Karsa dengan perolehan suara Kaji tidak lebih dari 1% unggul atas pasangan Karsa. Hal yang demikian ini menyebabkan kedua pasangan cagub was-was, karena quick account kemungkinan besar salah prediksi, mengingat margin error quick account mencapai 1%. Perhitungan cepat memang tidak membutuhkan waktu panjang untuk mengetahui hasil perolehan suara, karena perhitungannya hanya melibatkan sebagian TPS untuk dijadikan sampel dari total suara yang ada. Maka dari itu, quick account mempunyai margin error atas hasil perhitungan yang diperoleh.
Melihat kasus pilgub Jatim memang unik dibandingkan dengan kasus pemilihan yang lainnya. Dalam putaran pertama saja, selisih antara pasangan cagub mendapatkan suara yang tidak terpaut jauh selisihnya. Putaran kedua harus dilakukan untuk mendapatkan angka lebih dari 30%. Namun putaran kedua ini kembali terjadi persaingan ketat, apalagi hasil penghitungan cepat mendapatkan hasil yang kurang pasti sehingga membuat masyarakat tambah bingung. Hasil quick account (perhitungan cepat) milik Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang di Grand Mercure Hotel menunjukkan pasangan Kaji unggul 50,73% dibanding Karsa dengan 49,27%. Dikutip dari detik.com, tiga lembaga survei yang menyelenggarakan quick account memperkirakan pasangan Khofifah-Mudjiono (Kaji) menang dalam Pilgub Jatim putaran kedua. Kalaupun ada perubahan, kemungkinan sangat kecil, karena margin error hanya 1% saja. Pada akhirnya, hasil yang dihitung KPU Jatim bertolak belakang dengan hasil quick account dari berbagai lembaga survei.
Banyak informasi yang beredar tentang pemilihan gubernur ini, selain banyak terjadi kecurangan di beberapa daerah, banyak penggelembungan dan rekayasa perhitungan di beberapa daerah. Hal ini membuat kubu Kaji geram, mereka beranggapan bahwa terjadi banyak kecurangan sehingga perolehan suara Kaji kalah 60.000 suara dari Karsa. Bukti pelanggaran yang ditemukan oleh tim Kaji di Madura antara lain, seperti penghitungan dengan basis desa bukan TPS, banyaknya formulir C1 yang dicoret dan di-tipex. Karena itu kubu Kaji sangat yakin ada kecurangan apabila Kaji kalah dalam hasil rekapitulasi dari KPU Jatim.
Jadi secara sederhana, manipulasi data dalam kasus pemilihan gubernur ’Jawa Timur’ bisa diartikan dengan adanya indikasi kecurangan, baik disebabkan oleh penggelapan rekapitulasi hasil penghitungan suara maupun temuan bukti-bukti kecurangan tersebut di lapangan. Hal ini muncul karena ketidaksesuaian data hasil penghitungan suara secara manual dan virtual.
Sistem perhitungan secara manual sudah tidak asing lagi bagaimana atau seperti apa? Sedangkan sistem secara virtual dengan model penghitungan cepat (quick account) tentunya belum banyak diketahui detailnya. Bagaimana sebenarnya sistem penghitungan cepat (quick account) itu?

Penghitungan cepat (quick count)
a. Definisi
Quick count adalah proses pengumpulan informasi yang dilakukan oleh ratusan bahkan ribuan relawan, tergantung seberapa besar penarikan sampel yang diambil. Semua informasi atau data, diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap proses pemungutan dan penghitungan surat suara. Relawan mencatat informasi, termasuk didalamnya perolehan penghitungan suara yang sebenarnya ke dalam formulir yang telah distandarisasi dan menyampaikan temuan-temuan mereka kepada pusat pengumpulan data.
Selain itu, quick count juga dapat diartikan sebagai proses pencatatan hasil perolehan suara diribuan TPS yang dipilih secara acak. Quick count adalah prediksi hasil pemilu berdasarkan fakta bukan berdasarkan opini. Karena itu ia tidak sama dengan jajak pendapat terhadap pemilih yang baru saja mencoblos atau yang biasa disebut exit poll.

b. Metodologi
Quick Count menggunakan sampling dalam prosesnya. Dalam konteks ini, sampel tersebut adalah TPS sebagai unit terkecil pengambilan data. Konsep ini dikenal dengan istilah sample-based Parallel Vote Tabulation. Berbeda dengan penghitungan dengan menggunakan Comprehensive Parallel Vote Tabulation. Konsep comprehensive PVT yaitu dengan me-ngumpulkan data dari seluruh TPS yang berlaku secara resmi untuk dikirim kepada pusat penerima data. Nah, jika kita telaah lebih lanjut maka konsep comprehensive PVT ini hampir sama degnan penghitungan yang dilakukan oleh KPU. Hanya saja tidak membutuhkan waktu lama (penghitungan KPU melewati beberapa tahapan sehingga lambat dalam memperoleh hasil pemilihan.red) seperti cara yang digunakan oleh KPU dalam menghitung suara karena data langsung dikirim dan kikalkulasikan. Tetapi teknik comprehensive PVT ini tidak semudah dan semurah metode dam quick account. Karena harus meletakkan relawan di seluruh TPS. Sama ja dengan saksi yang ditempatkan di TPS oleh tim sukses perserta pemilu. Hasil dari comprehensive PVT akan sama dengan data yang diperoleh dari para saksi peserta pemilu tersebut. Inilah bedanya dengan quick account. Dimana quick account tidak menempatkan relawan di seluruh TPS. quick count juga tidak sama dengan prediksi perolehan suara dengan cara menanyakan pada pemilih di luar TPS atau yang dikenal dengan istilah Exit Polling.
Quick Count tidak mengandalkan dengan menanyakan pemilih atau siapapun tentang bagaimana mereka akan memilih atau membuat pemilih harus membuka rahasia bagaimana mereka memilih. Tidak ada pendapat yang dikemukakan dan tidak ada yang meminta dari siapapun. Jadi, data yang dikemukakan dan tidak ada yang meminta dari siapapun. Jadi, data Quick Count benar-benar berasal dari fakta di lapangan bukan opini. Mencegah kecurangan. Alasan yang paling mendasar untuk melakukan penghitungan cepat yang dipublikasikan dengan luas dan diselenggarakan oleh organisasi yang terpercaya dapat mencegah atau menggagalkan kecurangan dalam penghitungan suara. Untuk memenuhi fungsi pencegahan tersebut Quick Count harus dipublikasikan secara baik dan dijalankan dengan transparan. Program tersebut harus dipromosikan untuk meningkatkan kesadaran bahwa penyimpangan dalam pemilu atau pilkada akan dapat diketahui. Misalnya peng-gelembungan kertas suara, reduksi suara pemilih, dan lain-lain. Metodologi Quick Count harus dipahami dan dipercaya menemukan kecurangan.
Pada kasus-kasus dimana penghitungan cepat tidak dapat mencegah kecurangan, data seharusnya paling tidak dapat mendeteksi/menemukan kecurangan dalam penghitung-an suara. Hal ini dapat didasarkan dengan mengidentifikasi ketidakkonsistenan perbandingan satu TPS dangan TPS yang lainnya, dimana hasil resmi tidak mencerminkan laporan pemantau. Seringkali kecurangan terungkap ketika hasil dari proses tabulasi resmi berbeda dengan Quick Count atau Comprehensive PVT mendorong partisipasi warga negara. Penyelenggara Quick Count memobilisasi ratusan, ribuan terkadang puluhan ribu warga negara. Seringkali termasuk di dalamnya individu yang tidak tertarik berpartisipasi dalam politik partisipan namun tetap ingin secara aktif mendukung perkembangan dari sistem politik yang demokratis. Mereka bertindak sebagai pelatih penghitungan cepat, pemantau, pengolah data dan peran pendukung lainnya. Mereka menjadi benar-benar mengetahui tentang proses pemilu negara tersebut dan seringkali tetap terlibat dalam program serupa setelah pemilihan memprediksi hasil yang tepat waktu.
Dalam demokrasi transisi, perhitungan suara resmi seringkali dapat memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu untuk diumumkan kepada publik. Keterlambatan waktu yang diperpanjang antara penyelesaian pemungutan suara dan pengumuman hasil resmi, dapat menghasilkan ketidakpastian pada iklim politik atau kekosongan politik yang mengancam stabilitas. Sebuah Quick Count yang akurat dan kredibel dapat memprediksi dengan tepat waktu, membantu mengurangi ketegangan pasca pemilihan dan meningkatkan kepercayaan warga negara terhadap pemilihan.
Sepenting apapun dari yang dimungkinkan melalui taktik Quick Count, metodologi ini bukan merupakan pengganti terhadap pemantauan pemilihan atau pilkada yang lebih komprehensif. Sebuah Quick Count adalah salah satu dari banyak alat yang dapat digunakan dalam pemantauan pemilu. Sebagaimana definisinya, fokus Quick Count ada pada tugas untuk memverifikasi atau menguji bahwa surat suara yang masuk ke dalam kotak suara langsung dihitung secara akurat dan suara-suara ini tetap menjadi bagian dalam penghitungan akhir.

c. Penyelenggaraan Quick Count.
Quick Count sebaiknya dilakukan oleh organisasi yang kredibel, independen, memiliki sumber daya memadai dan didukung teknologi komunikasi serta akses informasi yang luas. Quick Count membutuhkan keahlian khusus, oleh karena itu memerlukan penyelenggara yang mengikuti dinamika politik nasional dan mampu mengorganisir masyarakat akar rumput secara nasional. Penyelenggara harus memiliki orang yang memahami statistik dan mampu memilih TPS dengan baik. Penyelenggara juga harus memiliki kemampuan di bidang teknologi komunikasi.



d. Contoh Quick Count.
Quick Count Pilkada Sumatera Utara (18/04/2008 08:26).
Quick Count dilakukan pada 16 April 2008. Empat jam setelah penghitungan suara, hasil Quick Count sudah diketahui. Quick Count dilakukan dengan mengambil sampel 350 TPS yang ada di seluruh propinsi Sumantera Utara. Hasil Quick Count dipresentasikan dalam konferensi pers di Hotel Grand Angkasa, Medan pukul 19.00 WIB. Hasil Quick Count, pasangan Syamsul Arifin dan Gatot Pudjo Nugroho unggul atas pasangan kandidat lain dengan perolehan suara 27,64%.

Bagaimana perspektif agama?
Allah Swt berfirman;
 وَلاَ تَبْخَسُوْا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلاَ تَعْثَوْا فِى اْلأَرْضِ مُفْسِدِيْنَ 
“Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan dimuka bumi dengan membuat kerusakan”. (Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 183).
Ayat yang sama juga terdapat dalam Surat ke 11 ayat ke 85, yang artinya; “… janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan dimuka bumi dengan membuat kerusakan”. Dan Surat ke 7 ayat ke 85, yang artinya; “… dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.
M. Ali al-Shabuny menafsiri ayat-ayat tersebut dengan “Janganlah engkau sekalian menganiaya orang lain, mengurangi hak-hak mereka dengan cara apa saja, baik dengan mengonsumsi, (al-hadlm), menipu (al-ghubn), penggunaan tanpa izin (al-ghashb), dan lain-lain. Berdasarkan hadits dari riwayat al-Sidy dan Qatadah, ayat tersebut ditafsiri dengan “janganlah engkau mengurangi (menzhalimi) hak-hak orang lain”. Ibnu Katsir menjelaskan riwayat tersebut denga “janganlah engkau mengkhianati orang lain dalam urusan harta benda mereka, dan mengambilnya dengan cara mengurangi takaran atau timbangannya secara sembunyi-sembunyi, memanipulasi, mengambil sedikit demi sedikit, mengalokasikan tanpa seizin sang pemilik dengan prosedur.
Dalam kitab Fath al-Qadir dijelaskan bahwa dalam firman Allah SWT tersebut terdapat larangan pengurangan hak seseorang secara umum. Lafazh al-Asyya’ itu mempunyai indikasi yang lebih umum dari pada barang-barang yang ditakar atau ditimbang. Maka berbuat curang pada takaran dan timbangan dalam ayat ini adalah indikasi awal, selanjutnya ayat ini merupakan larangan yang bersifat universal, setelah adanya larangan yang bersifat spesifik dalam ayat-ayat dalam surat sebelumnya. Menurut al-Razy, maksud dari ayat tersebut adalah setelah adanya larangan merekayasa pengurangan takaran dan timbangan, terdapat larangan pengurangan hak milik orang lain dengan segala cara. Termasuk di dalamnya larangan penggunaan milik orang lain tanpa seizing si empunya (ghashab), pencurian (sariqah), suap-menyuap (akhdzu al-risywah), merampok (qath’u al-thariq), merampas harta benda dengan cara memanipulasi (al-hiyal).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya segala perbuatan yang merugi-kan orang lain dalam bentuk dan dengan cara apapun, yang tradisional, konvensional, manual, digital, klasik maupun modern, sederhana maupun mutakhir, kesemuanya adalah dilarang dalam agama berdasarkan universalitas (‘umum al-ayat) tersebut. Wallohu a’lam. [@].
read more “Manipulasi Data”

KAIDAH-KAIDAH JAWAB DAN SYARAT

KAIDAH TANYA JAWAB DAN DLAMAIR

A. Kaidah Tanya-Jawab
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang di kehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya di tanyakan. Jawaban seperti ini di sebut uslub al-hakim. Sebagai contoh firman Allah: يسألونك عن الاهلة هي مواقيت للناس والحج. Mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang di berikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting di tanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu.
Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang di tanyakan, karena hal itu di anggap perlu. Misalanya ayat: قل الله ينجيكم منها و من كل كرب, sebagai jawaban bagi pertanyaan: من ينجيكم من ظلمات البروالبحر. Terkadang juga lebih sempit dari pertanyaan karena keadaan menghendaki demikian, seperti ayat: قل ما يكون لي أن أبدله من تلقاء نفسي, sebagai jawaban bagi ائت بقرأن غير هذا أوبدله, hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada men ciptakn. Jika mengganti saja tidak mampu tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.
Kata “su’al” bila di pakai untuk meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ber-muta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung dan terkadang dengan menggunakan kata bantu “’an” (عن). Misalnya: ويسألونك عن الروح. Dan bila di pergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang serupa, ia muta’addi kepad maf’ul kedua secara langsung atau dengan kata bantu “min” (من), namun cara yang pertama lebih banyak berlaku. Misalanya: واسألوا ما أنفقتم , dan واسألوا الله من فضله.

B. Kaidah Dhomair
Dhamir mempunyai kaidah-kaidah kebahasaan tersendiri yang disimpul-kan oleh para ahli bahasa dari Al-Quran al-Karim, sumber-sumber asli bahasa Arab, hadits nabawi dan dari perkataan orang-oarang Arab yang kata-katanya dapat di jadikan pedoman (hujjah), baik yang berupa puisi (nazham). Ibn al-Anbari telah menyusun sebuah kitab terdiri 12 jilid yang khusus membahas dhamir-dhamir yang terdapat dalam Al-Quran.
Pada dasarnya, dlamir di letakkan untuk mempersingkat perkataan; ia berfungsi untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Sebagai contoh, dlamir “hum” pada ayat: أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما telah menggantikan dua puluh kata, jika kata-kata yang terdapat pada permulaan ayat:
ان المسلمين و المسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقنتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصئمين والصئمات والحافظين فروجهم والحفظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرت أعد الله لهم مغفرة وأجرا. (الأحزاب: 35).
Setiap dlamir ghaib (kata ganti orang pertama) memerlukan tempat kembali atau penjelas, yaitu kata-kata yang digantikannya, dan menurut kaidah bahasa tempat kembali itu harus mendahuluinya. Ahli nahwu memberikan alasan bagi ketentuan ini, bahwa dlamir mutakallim (orang pertama) dan dlamir mukhatab (orang kedua) telah dapat diketahui maksudnya secara jelas melalui keadaan yang melingkupinya, tidak demikian halnya dengan dlamir ghaib. Karena itu menurut kaidah ini tempat kembali dlamir tersebut harus mendahuluinya agar suapaya apa yang di maksud dengannya dapat di ketahui lebih dahulu. Itulah sebabnya para ahli nahwu menetapkan, “dlamir ghaib tidak boleh kembali kepada lafazh yang terkemudian dalam pengucapan dan kedudukannya”.
Dari kaidah ini di kecualikan beberapa hal yang didalamnya dlamir kembali kepada tempat kembali yang tidak disebutkan karena apa yang dimaksudnya telah ditunjukkan oleh sebuah qarinah (indikasi) yang ada pada lafazh yang mendahuluinya atau oleh keadaan lain yang melingkupi suasana pembicaraan.
Ibn Malik dalam kitabnya al-Tashil menyatakan, “kaidah menetapkan, tempat kembali (marji’) dlamir ghaib itu harus didahulukan. Marji’ ialah lafazh yang terdekat dengannya kecuali bila ada dalil yang menunujukkan lain. Terkadang marji’ itu dijelaskan lafaznya dan terkadang pula tidak dijelaskan karena adanya indikator, baik yang inderawi maupun yang diketahui melalui penalaran (‘ilmi), yang menunujuk kepada dlamir, atau karena telah disebutkan-nya sesuatu yang merupakan bagian marji’, keseluruhannya, imbangannya atau menyertainya, dalam bentuk apapun jua”.
Dengan demikian, marji’ damir ghaib adalah lafazh yang telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai dengannya. Inilah yang banyak dan umum, seperti dalam firman-Nya: وناد نوح نابنه. Atau yang mendahuluinya itu mengandung apa yang di maksud oleh damir, seperti dalam firman-Nya:
يأيهاالذين أمنوا كونوا قوامين للله شهداء بالقسط ولايجرمنكم شنأن قوم على ألاتعدلوا اعدلوا هوأقرب للتقوى. (المائدة: [5]: 8)

Damir “huwa” disini kembali kepada keadilan, al-‘adlu yang terkandung dalam lafazh I’dilu. Jadi arti selengkapnya, keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan. Atau lafazh yang mendahuluinya itu menunujuk kepada damit berdasarkan kelaziman, keniscayaan (iltizam) seperti:فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعرف وأداء اليه بإحسن. Dlamir pada kata “ilaihi” kembali kepada lafazh al-‘afi (orang-orang yang memaafkan) yang harus ada karena adanya lafazh “’ufiya“ (dimaafkan).
Marji’ damir kadang-kadang terletak sesudah dlamir itu sendiri, namun hal ini hanya pengucapannya, tidak dalam kedudukan (jabatan kata)-nya, seperti dalam: فأوجس في نفسه خيفة موسى. Tetapi ada juga yang terletak kemudian dalam pengucapan maupaun kedudukannya sebagaimana terdapat pada dlamir sya’n, dlamir qissah, ni’ma dan bi’sa. Misalnya firman Allah: ayat قل هوالله أحد, فإذا هي شاخصة, بئس للظالمين بدلا, dan سأء مثلا الحلقوم. Selain itu ada pula lafazh yang datang sesudah dlamir menunjukkan marji’ dlamir itu, seperti pada firman-Nya:فلولا اذابلغت الحلقوم. Dlamir rafa’ yang tersimpan disini ditunjukkan oleh lafazh “al-hulqum”, yang jika dinyatakan dengan lengkap akan berbunyi: فلولا اذابلغت الروح الحلقوم .
Marji’ adakalanya dapat dipahami dari konteks kalimat, seperti pada: كل من عليها فان, maksud lafazh “’alaiha” ialah على الارض “alal ardli”, انا أنزلناه في ليلة القدر, yakni “an-zalna al-Quran” عبس وتولى, yakni “Nabi s.a.w”, dan أم يقولون افتراه, dlamir “wawu” pada lafazh “yaqulun” kembali kepada “orang-orang musyrik” dan dlamir fa’il lafazh “iiftara” kembali kepada “Nabi”, sedang dlamir marfu’nya kepada “al-Quran”.
Damir terkadang kembali kepada lafazh, bukan kepada makna, seperti dalam firman-Nya: وما يعمر من معمر ولا ينقص من عمره الا في كتاب, dlamir pada “umrihi” kembali kepada lafazh “mu’ammar” namun yang di maksud adalah “muammar” yang lain. Berkata al-Farra’: yang dimaksud ialah mu’ammar yang lain, bukan mu’ammar yang pertama, tetapi ia di-kinayah-kan dengan dlamir seakan-akan adalah mu’ammar yang pertama. Hal ini karena lafazh itu adalah di tampakkan maka sama persis dengan lafazh pertama, sehingga akan berbunyi “wala yunqasu min ‘umuri mu’ammar”, jadi jelaslah bahwa damir pada “min umurihi” kembali kepada lafazh “mu’ammar” yang lain, bukan muammar pertama. Ini tidak ubahnya dengan perkataan “’indi dzirhamun wa nishfuhu” (aku mempunyai satu dirham dan separuhnya), maksudnya separuh dirham yang lain.
Dlamir terkadang kembali kepada makna saja, seperti pada ayat:
يستفتونك قل الله يفتيكم في كلالة ان امرؤ هلك ليس له ولد وله أخت فلها نصف ما ترك وهو يرثها ان لم يكن لها ولد فإن كانتا اثنتين فلهما الثلثان
Dlamir pada “kanata” tidak didahului oleh lafazh tasniyah sebagai marji’nya, hal itu karena kata “kalalah” dapat dipakai untuk mufrad, tasniyah atau jama’. Jadi pen-tatsniyah-an dlamir yang kembali kepada kalalah itu didasarkan pada maknanya. Juga seperti: وأتوا النساء صدقاتهن نحلة فإن طبن لكم عن شئ منه نفسا. Dlamir pada kata “minhu” kembali kepada makna “as-shaduqat” sebab lafazh ini semakna dengan “as-shidaq” atau “ma ushdiqa” (sesuatu yang dijadikan mahar). Ayat ini seakan-akan berbunyi: وأتوالنساء صداقهن أوما أصدقتموهن (berikanlah mahar kepada para wanita atau apa yang kamu jadikan sebagai mahar bagi mereka).
Terkadang dlamir itu disebutkan terlebih dahulu dan kemudian diberi predikat (khabar) dengan lafazh yang menjelaskannya, seperti: ان هي الا حياتنا الدنيا. Juga terkadang ia di-tatsniyah-kan padahal ia kembali kepada salah satu dari dua hal yang telah di sebutkan, misalnya: يخرج منهما اللؤلؤ والمرجان. Mutiara dan marjan keluar dari salah satu dua laut, yaitu laut yang asin, bukan laut yang tawar. Keluarnya mutiara dan marjan dari salah satu dua laut ini dipandang keluar dari keduanya. Inilah pendapat az-Zajaj dan yang lain.
Dlamir terkadang juga kembali kepada sesuatu yang ada hubungan erat dengannya, seperti pada ayat: لم يلبسوا الا عشية أو ضهاها. Yang dimaksud dengan dlamir “ha” pada lafazh “dluhaha” ialah “dluha yaumiha” (waktu duha hari itu), bukan “dluha al-‘asyiyah” (waktu duha sore itu), karena waktu sore tidak mempunyai waktu dluha.
Selain itu, dalam penggunaan dlamir mula-mula yang di perhatikan adalah segi lafazh, namun kenudian segi maknalah yang di perhatikan. Ini seperti terlihat pada: ومن الناس من يقول أمنا بالله وباليوم الاخر وما هم بمؤمنين. Dlamir pada “yaqulu” di-mufrad-kan berdasarkan pada lafazh “man”, kemudian pada lafaz “wa ma hum” di jamakkan di dasarkan pada maknanya.


BAB IV
KAIDAH MUHKAM DAN MUTASYABIH

A. Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Umum
Menurut bahasa muhkam berasal dari kata-kata: حكمت الدبة وأحكمت yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah zhalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dengan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan.
Dikatakan: حكمت السفيه وأحكمته artinya saya memegang kedua tangan orang dungu. Juga dikatakan: حكمت الدبة وأحكمتها, artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang di pasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi unttuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti me-ngokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang separti itu sifatnya.
Dengan pengertian inilah Allah mennyifati al-Qur’an bahwa seluruh-nya adalah muhkam sebagimana di tegaskan dalam firman-Nya:
الر، كتاب أحكمت أياته ثم فصلت من لدن حكيم خبي.
“Alif Lam Ra’. (inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya di-muhkam-kan, dikokohkan serta di jelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi (Allah) yang maha bijaksana lagi maha tahu”.
الر، تلك أيات الكتاب الحكيم.
“Alif lam Ra’. Inilah ayat-ayat Al-Quram yang mengandung hikmah”.
“Al-Quran seluruhnya muhkam”, maksudnya Al-Quran kata-katanya kokoh, fasih dan membedakan antara yang hak dengan yang batil dan antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-Hikam al-‘amm atau muhkam dalam arti umum.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat di bedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman: وأتوا به متشابها. Maksudnya, sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamssil dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Quran bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagimana ditegaskan dalam ayat: الله نزل أحسن الحديث كتابا متشابها مثاني. dengan demikian, maka Al-Quran itu seluruhnya mutasyabih, maksudnya Al-Quran itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.

B. Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Khusus
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus , sebagimana disinyalir dalam firman Allah:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله الا الله والراسخون في العلم يقولون أمنا به من عند ربنا ... الأية
“Dialah yang menuurunkan al-Kitab kepadamu. Di antara isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan ayat-ayat mutasyabihat. Adapaun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadnya untuk menimbulakan fitnah da untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui trakwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabiahat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
1). Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasya-bih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah SWT sendiri.
2). Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.
3). Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Para Ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman), kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang Asma’ Allah SWT dan sifat-sifat-Nya, antara lain:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى.
“Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Rahman) bersemayam di atas ‘Arsy”.
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ.
“Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya”.
وَجَآءَ رَبُّكَ.
“Dan datanglah Tuhanmu”.
فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ الله.
“Maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu”.

C. Perbedaan Pendapat tentang Kemungkinan Mengetahui Mutasyabih
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertia muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkin-an maksud ayat yang mutasyabih pun tidak dapat dihindari. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat: والراسخون في العلم. apakah kedudukan lafazh ini sebagai mubtada’ yang khabarnya adalah يقولون dengan “wawu” diperlukan sebagai huruf isti’naf dan waqaf di lakukan pada lafaz وما يعلم تأويله الا الله ataukan ia ma’tuf, sedang lafaz يقولون menjadi hal dan waqafnya pada lafaz والراسخون في العلم
Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Kaab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabiin dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain, dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadraknya bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca:
وما يعلم تأويله الا الله والراسخون في العلم يقولون أمنا به
Pendapat kedua (yang menyatakan “wawu” sebagai huruf ‘athaf) dipilih oleh sebagian ulama yang dipelopori oleh Mujahid, ia berkata: saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari Fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirnya.



D. Kompromi Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil
Dengan merujuk kepada makna takwil maka akan jelaslah bahwa antara dua pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhkhirin.
2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pem-bicaraan untuk menafsiirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat di pahami.
3. Takwil adalah hakikat yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka, takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang dzat dan sifat-sifatnya ialah hakikat zat-Nya itu sendiri yang Qudus dan hakikat sifat-sifatnya-Nya.
Golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafaz وما يعلم تأويله الا الله dan menjadikan والراسخون في العلم sebagai isti’naf mengatakan, “takwil” dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari suatu perkataan. Sebaliknya, golongan yang mengatakan “waqaf” pada lafaz والراسخون في العلم dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf ‘athaf bukan isti’naf, mengartikan kata takwil tersebut dengan arti kedua, yaitu tafsir, sebagaimana dikemukakan Mujahid, seorang tokoh tafsir terkemuka.


BAB III
PENUTUP

Dari uraian yang lebar panjang, maka bisa kita simpulkan sebagai berikut. Penggunaan isim nakirah mempunyai beberapa fungsi seperti yang sudah dijelaskan diatas. Selanjutnya penggunaan dlamir didalam Al-Qur’an pada dasar-nya untuk mempersingkat suatu perkataan tanpa merubah makna yang dimaksud-kan. Begitu juga penggunaan dhamir mula-mula harus diperhatikan adalah segi lafazh dan selanjutnya dari segi maknanya. Suatu jawaban sudah semestinya harus sesuai dengan apa yang di pertanyakan, tetapi kadang-kadang didalam Al-Quran terjadi juga apa yang namanya jawaban bisa menjadi sebuah pertanyaan.
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Hal ini telah di buktikan oleh AllahSWT sendiri dalam sebuah firman-Nya. Dalam menyikapi ini para ulama berbeda pendapat dalam mengomentari ayat tersebut, namun kedua pendapat tersebut bila diteliti serbenarnya tidak terjadi pertentangan hanya berbeda dalam memaknai makna dari takwil itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramain.
Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, (Beirut, Daar el-Fikr, 2005).
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Alquran, (Kairo, Dar al-Turats, cet ke-3, 1984).
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Q-ur’an, Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Q-ur’an, (Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973).
read more “KAIDAH-KAIDAH JAWAB DAN SYARAT”

Followers

Cari Blog Ini