Biarkan Aku Menyapa

Assalamu'Alaikum.......
Hai... salam kenalku selalu padamu shobat.
Bertamasyalah, karena dengan begitu anda akan selalu merasakan kesegaran dalam kata, pikir, jiwa, dan raga. Bila anak panah tetap berada bersama busur, ia takkan membunuh seekor kijang pun. Mataharipun akan nampak begitu membosankan bila ia tetap berada di Timur, meski selalu tersenyum. Bahkan air akan mengeluarkan bau tak sedap karena bila ia enggan mengalir. Oleh karenanya, ungkapkanlah apapun yang ada dalam otak anda.Keputusan akan melemahkan pandangan dan menutup pendengaran. Kita tidak dapat melihat kecuali bayang-bayang kehampaan, dan tidak bisa mendengar kecuali detak jantung yang kosong.

Jumat, 26 Juni 2009

KAIDAH-KAIDAH JAWAB DAN SYARAT

KAIDAH TANYA JAWAB DAN DLAMAIR

A. Kaidah Tanya-Jawab
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang di kehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya di tanyakan. Jawaban seperti ini di sebut uslub al-hakim. Sebagai contoh firman Allah: يسألونك عن الاهلة هي مواقيت للناس والحج. Mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang di berikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting di tanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu.
Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang di tanyakan, karena hal itu di anggap perlu. Misalanya ayat: قل الله ينجيكم منها و من كل كرب, sebagai jawaban bagi pertanyaan: من ينجيكم من ظلمات البروالبحر. Terkadang juga lebih sempit dari pertanyaan karena keadaan menghendaki demikian, seperti ayat: قل ما يكون لي أن أبدله من تلقاء نفسي, sebagai jawaban bagi ائت بقرأن غير هذا أوبدله, hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada men ciptakn. Jika mengganti saja tidak mampu tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.
Kata “su’al” bila di pakai untuk meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ber-muta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung dan terkadang dengan menggunakan kata bantu “’an” (عن). Misalnya: ويسألونك عن الروح. Dan bila di pergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang serupa, ia muta’addi kepad maf’ul kedua secara langsung atau dengan kata bantu “min” (من), namun cara yang pertama lebih banyak berlaku. Misalanya: واسألوا ما أنفقتم , dan واسألوا الله من فضله.

B. Kaidah Dhomair
Dhamir mempunyai kaidah-kaidah kebahasaan tersendiri yang disimpul-kan oleh para ahli bahasa dari Al-Quran al-Karim, sumber-sumber asli bahasa Arab, hadits nabawi dan dari perkataan orang-oarang Arab yang kata-katanya dapat di jadikan pedoman (hujjah), baik yang berupa puisi (nazham). Ibn al-Anbari telah menyusun sebuah kitab terdiri 12 jilid yang khusus membahas dhamir-dhamir yang terdapat dalam Al-Quran.
Pada dasarnya, dlamir di letakkan untuk mempersingkat perkataan; ia berfungsi untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Sebagai contoh, dlamir “hum” pada ayat: أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما telah menggantikan dua puluh kata, jika kata-kata yang terdapat pada permulaan ayat:
ان المسلمين و المسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقنتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصئمين والصئمات والحافظين فروجهم والحفظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرت أعد الله لهم مغفرة وأجرا. (الأحزاب: 35).
Setiap dlamir ghaib (kata ganti orang pertama) memerlukan tempat kembali atau penjelas, yaitu kata-kata yang digantikannya, dan menurut kaidah bahasa tempat kembali itu harus mendahuluinya. Ahli nahwu memberikan alasan bagi ketentuan ini, bahwa dlamir mutakallim (orang pertama) dan dlamir mukhatab (orang kedua) telah dapat diketahui maksudnya secara jelas melalui keadaan yang melingkupinya, tidak demikian halnya dengan dlamir ghaib. Karena itu menurut kaidah ini tempat kembali dlamir tersebut harus mendahuluinya agar suapaya apa yang di maksud dengannya dapat di ketahui lebih dahulu. Itulah sebabnya para ahli nahwu menetapkan, “dlamir ghaib tidak boleh kembali kepada lafazh yang terkemudian dalam pengucapan dan kedudukannya”.
Dari kaidah ini di kecualikan beberapa hal yang didalamnya dlamir kembali kepada tempat kembali yang tidak disebutkan karena apa yang dimaksudnya telah ditunjukkan oleh sebuah qarinah (indikasi) yang ada pada lafazh yang mendahuluinya atau oleh keadaan lain yang melingkupi suasana pembicaraan.
Ibn Malik dalam kitabnya al-Tashil menyatakan, “kaidah menetapkan, tempat kembali (marji’) dlamir ghaib itu harus didahulukan. Marji’ ialah lafazh yang terdekat dengannya kecuali bila ada dalil yang menunujukkan lain. Terkadang marji’ itu dijelaskan lafaznya dan terkadang pula tidak dijelaskan karena adanya indikator, baik yang inderawi maupun yang diketahui melalui penalaran (‘ilmi), yang menunujuk kepada dlamir, atau karena telah disebutkan-nya sesuatu yang merupakan bagian marji’, keseluruhannya, imbangannya atau menyertainya, dalam bentuk apapun jua”.
Dengan demikian, marji’ damir ghaib adalah lafazh yang telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai dengannya. Inilah yang banyak dan umum, seperti dalam firman-Nya: وناد نوح نابنه. Atau yang mendahuluinya itu mengandung apa yang di maksud oleh damir, seperti dalam firman-Nya:
يأيهاالذين أمنوا كونوا قوامين للله شهداء بالقسط ولايجرمنكم شنأن قوم على ألاتعدلوا اعدلوا هوأقرب للتقوى. (المائدة: [5]: 8)

Damir “huwa” disini kembali kepada keadilan, al-‘adlu yang terkandung dalam lafazh I’dilu. Jadi arti selengkapnya, keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan. Atau lafazh yang mendahuluinya itu menunujuk kepada damit berdasarkan kelaziman, keniscayaan (iltizam) seperti:فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعرف وأداء اليه بإحسن. Dlamir pada kata “ilaihi” kembali kepada lafazh al-‘afi (orang-orang yang memaafkan) yang harus ada karena adanya lafazh “’ufiya“ (dimaafkan).
Marji’ damir kadang-kadang terletak sesudah dlamir itu sendiri, namun hal ini hanya pengucapannya, tidak dalam kedudukan (jabatan kata)-nya, seperti dalam: فأوجس في نفسه خيفة موسى. Tetapi ada juga yang terletak kemudian dalam pengucapan maupaun kedudukannya sebagaimana terdapat pada dlamir sya’n, dlamir qissah, ni’ma dan bi’sa. Misalnya firman Allah: ayat قل هوالله أحد, فإذا هي شاخصة, بئس للظالمين بدلا, dan سأء مثلا الحلقوم. Selain itu ada pula lafazh yang datang sesudah dlamir menunjukkan marji’ dlamir itu, seperti pada firman-Nya:فلولا اذابلغت الحلقوم. Dlamir rafa’ yang tersimpan disini ditunjukkan oleh lafazh “al-hulqum”, yang jika dinyatakan dengan lengkap akan berbunyi: فلولا اذابلغت الروح الحلقوم .
Marji’ adakalanya dapat dipahami dari konteks kalimat, seperti pada: كل من عليها فان, maksud lafazh “’alaiha” ialah على الارض “alal ardli”, انا أنزلناه في ليلة القدر, yakni “an-zalna al-Quran” عبس وتولى, yakni “Nabi s.a.w”, dan أم يقولون افتراه, dlamir “wawu” pada lafazh “yaqulun” kembali kepada “orang-orang musyrik” dan dlamir fa’il lafazh “iiftara” kembali kepada “Nabi”, sedang dlamir marfu’nya kepada “al-Quran”.
Damir terkadang kembali kepada lafazh, bukan kepada makna, seperti dalam firman-Nya: وما يعمر من معمر ولا ينقص من عمره الا في كتاب, dlamir pada “umrihi” kembali kepada lafazh “mu’ammar” namun yang di maksud adalah “muammar” yang lain. Berkata al-Farra’: yang dimaksud ialah mu’ammar yang lain, bukan mu’ammar yang pertama, tetapi ia di-kinayah-kan dengan dlamir seakan-akan adalah mu’ammar yang pertama. Hal ini karena lafazh itu adalah di tampakkan maka sama persis dengan lafazh pertama, sehingga akan berbunyi “wala yunqasu min ‘umuri mu’ammar”, jadi jelaslah bahwa damir pada “min umurihi” kembali kepada lafazh “mu’ammar” yang lain, bukan muammar pertama. Ini tidak ubahnya dengan perkataan “’indi dzirhamun wa nishfuhu” (aku mempunyai satu dirham dan separuhnya), maksudnya separuh dirham yang lain.
Dlamir terkadang kembali kepada makna saja, seperti pada ayat:
يستفتونك قل الله يفتيكم في كلالة ان امرؤ هلك ليس له ولد وله أخت فلها نصف ما ترك وهو يرثها ان لم يكن لها ولد فإن كانتا اثنتين فلهما الثلثان
Dlamir pada “kanata” tidak didahului oleh lafazh tasniyah sebagai marji’nya, hal itu karena kata “kalalah” dapat dipakai untuk mufrad, tasniyah atau jama’. Jadi pen-tatsniyah-an dlamir yang kembali kepada kalalah itu didasarkan pada maknanya. Juga seperti: وأتوا النساء صدقاتهن نحلة فإن طبن لكم عن شئ منه نفسا. Dlamir pada kata “minhu” kembali kepada makna “as-shaduqat” sebab lafazh ini semakna dengan “as-shidaq” atau “ma ushdiqa” (sesuatu yang dijadikan mahar). Ayat ini seakan-akan berbunyi: وأتوالنساء صداقهن أوما أصدقتموهن (berikanlah mahar kepada para wanita atau apa yang kamu jadikan sebagai mahar bagi mereka).
Terkadang dlamir itu disebutkan terlebih dahulu dan kemudian diberi predikat (khabar) dengan lafazh yang menjelaskannya, seperti: ان هي الا حياتنا الدنيا. Juga terkadang ia di-tatsniyah-kan padahal ia kembali kepada salah satu dari dua hal yang telah di sebutkan, misalnya: يخرج منهما اللؤلؤ والمرجان. Mutiara dan marjan keluar dari salah satu dua laut, yaitu laut yang asin, bukan laut yang tawar. Keluarnya mutiara dan marjan dari salah satu dua laut ini dipandang keluar dari keduanya. Inilah pendapat az-Zajaj dan yang lain.
Dlamir terkadang juga kembali kepada sesuatu yang ada hubungan erat dengannya, seperti pada ayat: لم يلبسوا الا عشية أو ضهاها. Yang dimaksud dengan dlamir “ha” pada lafazh “dluhaha” ialah “dluha yaumiha” (waktu duha hari itu), bukan “dluha al-‘asyiyah” (waktu duha sore itu), karena waktu sore tidak mempunyai waktu dluha.
Selain itu, dalam penggunaan dlamir mula-mula yang di perhatikan adalah segi lafazh, namun kenudian segi maknalah yang di perhatikan. Ini seperti terlihat pada: ومن الناس من يقول أمنا بالله وباليوم الاخر وما هم بمؤمنين. Dlamir pada “yaqulu” di-mufrad-kan berdasarkan pada lafazh “man”, kemudian pada lafaz “wa ma hum” di jamakkan di dasarkan pada maknanya.


BAB IV
KAIDAH MUHKAM DAN MUTASYABIH

A. Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Umum
Menurut bahasa muhkam berasal dari kata-kata: حكمت الدبة وأحكمت yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah zhalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dengan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan.
Dikatakan: حكمت السفيه وأحكمته artinya saya memegang kedua tangan orang dungu. Juga dikatakan: حكمت الدبة وأحكمتها, artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang di pasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi unttuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti me-ngokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang separti itu sifatnya.
Dengan pengertian inilah Allah mennyifati al-Qur’an bahwa seluruh-nya adalah muhkam sebagimana di tegaskan dalam firman-Nya:
الر، كتاب أحكمت أياته ثم فصلت من لدن حكيم خبي.
“Alif Lam Ra’. (inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya di-muhkam-kan, dikokohkan serta di jelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi (Allah) yang maha bijaksana lagi maha tahu”.
الر، تلك أيات الكتاب الحكيم.
“Alif lam Ra’. Inilah ayat-ayat Al-Quram yang mengandung hikmah”.
“Al-Quran seluruhnya muhkam”, maksudnya Al-Quran kata-katanya kokoh, fasih dan membedakan antara yang hak dengan yang batil dan antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-Hikam al-‘amm atau muhkam dalam arti umum.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat di bedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman: وأتوا به متشابها. Maksudnya, sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamssil dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Quran bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagimana ditegaskan dalam ayat: الله نزل أحسن الحديث كتابا متشابها مثاني. dengan demikian, maka Al-Quran itu seluruhnya mutasyabih, maksudnya Al-Quran itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.

B. Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Khusus
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus , sebagimana disinyalir dalam firman Allah:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله الا الله والراسخون في العلم يقولون أمنا به من عند ربنا ... الأية
“Dialah yang menuurunkan al-Kitab kepadamu. Di antara isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan ayat-ayat mutasyabihat. Adapaun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadnya untuk menimbulakan fitnah da untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui trakwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabiahat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
1). Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasya-bih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah SWT sendiri.
2). Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.
3). Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Para Ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman), kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang Asma’ Allah SWT dan sifat-sifat-Nya, antara lain:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى.
“Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Rahman) bersemayam di atas ‘Arsy”.
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ.
“Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya”.
وَجَآءَ رَبُّكَ.
“Dan datanglah Tuhanmu”.
فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ الله.
“Maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu”.

C. Perbedaan Pendapat tentang Kemungkinan Mengetahui Mutasyabih
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertia muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkin-an maksud ayat yang mutasyabih pun tidak dapat dihindari. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat: والراسخون في العلم. apakah kedudukan lafazh ini sebagai mubtada’ yang khabarnya adalah يقولون dengan “wawu” diperlukan sebagai huruf isti’naf dan waqaf di lakukan pada lafaz وما يعلم تأويله الا الله ataukan ia ma’tuf, sedang lafaz يقولون menjadi hal dan waqafnya pada lafaz والراسخون في العلم
Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Kaab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabiin dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain, dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadraknya bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca:
وما يعلم تأويله الا الله والراسخون في العلم يقولون أمنا به
Pendapat kedua (yang menyatakan “wawu” sebagai huruf ‘athaf) dipilih oleh sebagian ulama yang dipelopori oleh Mujahid, ia berkata: saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari Fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirnya.



D. Kompromi Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil
Dengan merujuk kepada makna takwil maka akan jelaslah bahwa antara dua pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhkhirin.
2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pem-bicaraan untuk menafsiirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat di pahami.
3. Takwil adalah hakikat yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka, takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang dzat dan sifat-sifatnya ialah hakikat zat-Nya itu sendiri yang Qudus dan hakikat sifat-sifatnya-Nya.
Golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafaz وما يعلم تأويله الا الله dan menjadikan والراسخون في العلم sebagai isti’naf mengatakan, “takwil” dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari suatu perkataan. Sebaliknya, golongan yang mengatakan “waqaf” pada lafaz والراسخون في العلم dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf ‘athaf bukan isti’naf, mengartikan kata takwil tersebut dengan arti kedua, yaitu tafsir, sebagaimana dikemukakan Mujahid, seorang tokoh tafsir terkemuka.


BAB III
PENUTUP

Dari uraian yang lebar panjang, maka bisa kita simpulkan sebagai berikut. Penggunaan isim nakirah mempunyai beberapa fungsi seperti yang sudah dijelaskan diatas. Selanjutnya penggunaan dlamir didalam Al-Qur’an pada dasar-nya untuk mempersingkat suatu perkataan tanpa merubah makna yang dimaksud-kan. Begitu juga penggunaan dhamir mula-mula harus diperhatikan adalah segi lafazh dan selanjutnya dari segi maknanya. Suatu jawaban sudah semestinya harus sesuai dengan apa yang di pertanyakan, tetapi kadang-kadang didalam Al-Quran terjadi juga apa yang namanya jawaban bisa menjadi sebuah pertanyaan.
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Hal ini telah di buktikan oleh AllahSWT sendiri dalam sebuah firman-Nya. Dalam menyikapi ini para ulama berbeda pendapat dalam mengomentari ayat tersebut, namun kedua pendapat tersebut bila diteliti serbenarnya tidak terjadi pertentangan hanya berbeda dalam memaknai makna dari takwil itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramain.
Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, (Beirut, Daar el-Fikr, 2005).
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Alquran, (Kairo, Dar al-Turats, cet ke-3, 1984).
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Q-ur’an, Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Q-ur’an, (Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973).
read more “KAIDAH-KAIDAH JAWAB DAN SYARAT”

WAHYU DAN AKAL, IMAN DAN ILMU

Syekh Puji dalam Potret

Oleh; A.Syathiby

Surabaya, 12 November 2008.

Pernikahan Syekh Puji dengan Luthfiana mestinya tidak perlu jadi polemik. Alasannya, secara hukum Islam pernikahan itu sah, kendati sang mempelai perempuan berusia 12 tahun.

Dalam melihat persoalan fenomenal yang mencuat mencuat ke permukaan lewat media dalam kasus syekh Puji, penulis akan mencoba menggunakan beberapa pendekatan, antara lain;

a. Agama.

Pernikahan Syekh Puji dalam perspektif agama Islam sebagai agama yang dianut olep Pujiono dan Luthfiana Ulfa, adalah sah. mengingat pernikahan beda usia baik dengan isteri yang lebih tua ataupun isteri yang lebih muda, kedua hal tersebut dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Sejarah mencatat bahwa Sayyidah Aisyah adalah isteri Nabi yang termuda. Secara garis besar ada dua versi tentang usia Sayyidah Aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah SAW.

Versi yang masyhur mengatakan bahwa Rasul SAW menikahi Sayyidah Aisyah ketika berusia 6 atau 7 tahun, dan tinggal serumah sebagai suami-isteri saat berusia 9 atau 10 tahun sampai Rasulullah wafat pada waktu Sayyidah Aisyah berusia 18 tahun. Keterangan ini termaktub dalam kitab Shahihain, Sunan Abi Dawud, juga Sirah Nabawiyah li Ibni Hisyam. Sedangkan versi yang lain menyebutkan bahwa kala itu Sayyidah Aisyah berusia

Menurut Tabari: Keempat anak Abu Bakr RA dilahirkan oleh isterinya pada zaman Jahiliyah, artinya pre-610 M. (Tarikh alMamluk, alTabari, Jilid 4, hal.50). Tabari meninggal 922 M. Jika St ‘Aisyah dinikahkan dalam umur 6 tahun berarti St ‘Aisyah lahir tahun 613 M. Padahal menurut Tabari semua keempat anak Abu Bakr RA lahir pada zaman Jahiliyah, yaitu pada tahun sebelum 610 M. Alhasil berdasar atas Tabari St ‘Aisyah RA tidak dilahirkan 613 M melainkan sebelum 610. Jadi kalau St ‘Aisyah RA dilahirkan sebelum 610 M dan dinikahkan tahun 620 M, maka beliau dinikahkan pada umur di atas (620 - 610) = di atas 10 tahun dan hidup sebagai suami isteri dengan Nabi Muhammad SAW dalam umur di atas (10 + 3) = di atas 13 tahun. Jadi kalau di atas 13 tahun, dalam umur berapa? Untuk itu marilah kita menengok kepada kakak perempuan St ‘Aisyah RA, yaitu Asmah.

Menurut Abd alRahman ibn abi Zannad: “Asmah 10 tahun lebih tua dari St ‘Aisyah RA (alZ ahabi, Muassasah alRisalah, Jilid 2, hal.289). Menurut Ibn Hajar alAsqalani: Asmah hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriyah (Taqrib al Tahzib, Al-Asqalani, hal.654).

Alhasil, apabila Asmah meninggal dalam usia 100 tahun dan meninggal dalam tahun 73 atau 74 Hijriyah, maka Asmah berumur 27 atau 28 tahun pada waktu Hijrah, sehingga St ‘Aisyah berumur (27 atau 28) - 10 = 17 atau 18 tahun pada waktu Hijrah, dan itu berarti St ‘Aisyah mulai hidup berumah tangga dengan Nabi Muhammad SAW pada waktu berumur 19 atau 20 tahun.

KESIMPULAN:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah buruk dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.

KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:

Pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu 610 M:

turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam

613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat

615 M: Hijrah ke Abyssinia.

616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.

620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah

622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina

623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah

Bukti #2: Meminang

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.

Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyahh dari 2 isterinya "

(Tarikhu'l-umam wa'l-mamlu'k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara'l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah.

Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.

Bukti # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah

Menurut Ibn Hajar, "Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun... Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah" (Al-isabah fi tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol.
4, p. 377, Maktabatu'l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).

Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.

KESIMPULAN:
Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.

Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma'

Menurut Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la'ma'l-nubala', Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu'assasatu'l-risalah, Beirut, 1992).

Menurut Ibn Kathir: "Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]"

(Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: "Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun"
(Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: "Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H." (Taqribu'l- tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi'l-nisa', al-harfu'l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M).

Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.

Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?
KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.

Bukti #5: Perang BADAR dan UHUD

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab karahiyati'l-isti`anah fi'l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: "ketika kita mencapai Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l-nisa' wa qitalihinnama`a'lrijal): "Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb]."

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu'l-maghazi, Bab Ghazwati'l-khandaq wahiya'l-ahza'b): "Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb."
Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyahikut dalam perang badar dan Uhud

KESIMPULAN:
Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: "Saya seorang gadis muda(jariyah dalam bahasa arab)" ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, Kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa'l-sa`atu adha' wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane's Arabic English Lexicon).

Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.
Bukti #7: Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)"

Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah. Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.

Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris "virgin".
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah "wanita" (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan:
Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah "wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan."

Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

Bukti #8. Text Qur'an

Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur'an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?

Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu.

Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur'an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.

Ayat tersebut mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kimpoi.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)

Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat Qur'an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tersebut secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah.

Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai isteri.

Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya.

Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,"berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" Jawabannya adalah Nol besar.

Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur'an.
Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.

KESIMPULAN: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karena itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.
Bukti #9: Ijin dalam pernikahan

Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.

Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan. Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun. Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.

KESIMPULAN:
Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

Summary:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable.

Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur'an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.

Secara hukum Islam tidak ada nash sharih yang membatasi umur salah satu pengantin laki-laki atau perempuan dalam nikah. Hal itu diperkuat oleh tindakan Rasulullah Saw. yang menikahi Aisyah di usia enam atau tujuh tahun, dan menjadikan hubungan suami-istri ketika Aisyah berusia sembilan tahun. Ini pendapat yang kuat.

Dalam literatur-literatur kitab Fiqh Islam masalah ini juga dibahas. Penulis belum menemukan pendapat ulama yang tidak membolehkan adanya pernikahan anak kecil. Banyak contoh-contoh pernikahan anak kecil. Dan hukum perceraiannya juga dibicarakan. Terlebih lagi, pernikahan fenomenal ini dilakukan ketika mempelai wanita (Luthfiana Ulfa) berusia 12 tahun yakni sudah baligh,[1] dan dengan sukarela, berdasarkan pernyataan Luthfiana pada sebuah media massa, yang mana ia menolak berpisah dengan Syekh Puji.[2]

Adapun mengenai pelarangan pernikahan anak kecil, karena tradisi, adat istiadat atau budaya setempat. Hukum di luar Islam seperti adat, budaya, HAM Barat dan sebagainya mengatakan, kenapa harus menikah dengan anak kecil. Lalu perbuatan itu diangap melanggar HAM, padahal, Islam tidak melihat pernikahan dengan anak kecil itu melanggar hukum dan HAM, bahkan diperbolehkan. HAM-lah yang melanggar hukum Islam.

Soal aturan Undang-undang, selama aturan itu berlawanan dengan hukum Islam, maka tidak bisa dijadikan acuan. Untuk konteks Indonesia, hukum nikah tak mesti merujuk Undana-undang, karena ada yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. Jadi pernikahan Puji-Luthfiana sah secara hukum Islam.[3]

“Agama Islam mengajarkan kebaikan bukan keburukan. Coba diperhatikan dengan seksama tentang pernikahan yang dilakukan Syekh Puji. Dia malah mengangkat derajat perempuan yang dinikahinya dengan cara mengangkat istrinya menjadi general manager di sebuah perusahaan yang dipimpinnya, dan dalam Islam, wanita yang sudah haid (menstruasi) boleh dinikahi.

Orang-orang yang menghujat pernikahan Syekh Puji, akan tetapi dengan tanpa menutup mata dan menuliikan telinga, coba kita lihat, dengarkan serta perhatikan, berapa banyak anak yang telah menjadi budak seks, apa ada yang peduli. Kenapa pernikahan yang sah mesti diperdebatkan? Marilah kita berpikir jernih dan proporsional melihat permasalahan ini.

Sebaiknya Komnas PA memperhatikan berapa banyak anak yang menjadi budak seks, diperjualbelikan dan menjadi pemuas nafsu pria hidung belang tersebut, bukan mengurus hal seperti ini.

Adakah Batasan minimal Usia Menikah dalam Alquran?

Untuk mengetahui hal tersebut, tentunya dengan mencari ayat al-Quran yang mencantumkan lafazh-lafazh yang mengindikasikan hal tersebut. Di antaranya adalah firman Allah dalam Surat al-Nisa’[4] ayat 6 sebagai berikut:

وابتلوا اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح ... الأية (النساء : ٦)

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin …” Q.S. al-Nisa’ [4]: 6.[4]

Firman Allah بلغوا النكاح yang dimaksud adalah ketika mereka sampai pada usia baligh. Berdasarkan riwayat hadis dari Mujahid, dengan redaksi حتى إذا احتلموا ‘sehingga mereka ihtilam (mimpi basah yang menjadi salah satu tanda balighnya seseorang).[5] Hadist senada juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Zaid. Dan dikuatkan dengan adanya ayat lain yaitu firman Allah Q.S. al-Nur [24] : 59,

وإذا بلغ الأطفال منكم الحلم فليستأذنوا ... الأية (النور: ٥٩)

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin …“ Q.S. al-Nur [24] : 59.[6]

Dalam literatur tafsir, ayat dalam surat al-Nur tersebut, menjelaskan ayat sebelumnya yang ada pada surat al-Nisa’. Sehingga dengan demikian menjadi jelas bahwa usia menikah dalam al-Qur’an adalah usia baligh. Al-Qurthubi, dalam tafsirnya menerangkan bahwa baligh seseorang dapat diketahui dengan lima ciri, yang 3 ada pada laki-laki dan perempuan, sedangkan yang 2 hanya ada pada wanita saja, yaitu haidl (menstruasi) dan hamil.[7]

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa batas minimal usia menikah adalah usia baligh yang mana para fuqaha merinci hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Jejak pernikahan Nabi dengan Aisyah.

Selain menikah dengan Khadijjah, yaitu dimasa setelah wafatnya sang istri tercinta, Nabi Muhammad juga telah melangsungkan pernikahan secara berturut-turut dengan Saudah binti Zam’ah, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Zainab binti Khuzaimah, Hafshah binti Umar bin Khattab, Ummu Salamah, Juwairiyah binti al-Harits, Zainab binti Jahsy, Saffiyah binti Huyai bin Khattab, Ummu Habibah alias Ramlah binti Abu Sofyan, Mariatul Qibthiyyah dari Mesir dan terakhir dengan Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyyah alias Barrah sekitar tahun ketujuh Hijriyah (629 Masehi).

Sahih Muslim

عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهى بنت سبع سنين وزفت إليه وهى بنت تسع سنين ولعابها معها ومات عنها وهى بنت ثمان عشرة

Dari ‘A’isha (mengatakan) bahwa Rasulullah (saw) menikahi beliau ketika beliau berusia tujuh tahun, dan beliau dibawa ke rumah Nabi sebagai pengantin ketika berusia sembilan tahun, dan boneka2nya ikut bersamanya; dan beliau (sang Nabi) wafat ketika ‘A’isha berusia delapan belas tahun.[8]

Rasulullah saw mengisahkan mimpi beliau kepada ‘Aisyah: ”Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu datang bersamamu malaikat yang berkata: ini adalah istrimu. Lalu aku singkap tirai yang menyembunyikan wajahmu, lalu aku berkata sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di sisi Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi dari ‘Aisyah radilayallahu ‘anha)

Dikisahkan oleh ‘Aisha: Bahwa sang Nabi menikahinya ketika ia berusia enam tahun dan sang Nabi menyetubuhinya ketika dia berusia sembilan tahun, dan dia terus bersama sang Nabi selama sembilan tahun (sampai Nabi mati).

Sahih Muslim

عن عائشة قالت تزوجنى النبي صلى الله عليه وسلم وأنا بنت ست سنين وبنى بى وأنا بنت تسع سنين

Dari ‘A’isyah, beliau berkata: Rasulullah (saw) menikahiku ketika aku berusia enam tahun, dan aku diterima di rumahnya pada waktu aku berusia sembilan tahun.[9]

Sahih Bukhari

عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهى بنت ست سنين وأدخلت عليه وهى بنت تسع ومكثت عنده تسعا

Dari ‘Aisyah: bahwasanya Sang Nabi saw menikah dengan ‘Aisha ketika beliau berusia enam tahun dan menyetubuhinya ketika beliau berusia sembilan tahun dan beliau tinggal bersama sang Nabi selama sembilan tahun.[10]

Shahihain :

عن عائشة رضى الله عنها قالت: تزوجنى النبي صلى الله عليه وسلم وأنا بنت ست سنين فقدمنا المدينة فنزلنا فى بنى الحارث بن خزرج فوعكت فتمرق شعرى فوفى جميمة فأتتنى أمى أم رومان وإنى لفى أرجوحة ومعى صواحب لى فصرخت بى فأتيتها لا أدرى ما تريد بى فأخذت بيدى حتى أوقفتنى على باب الدار وإنى لأنهج حتى سكن بعض نفسى ثم أخذت شيئا من ماء فمسحت به وجهى ورأسى ثم أدخلتنى الدار فإذا نسوة من الأنصار فى فقلن على الخير والبركة وعلى خير طائر فأسلمتنى إليهن فأصلحن من شأنى فلم يرعنى إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى فأسلمتنى إليه وأنا يومئذ بنت تسع سنين.

Dikisahkan oleh Aisha: Sang Nabi bertunangan denganku ketika aku masih seorang gadis kecil berusia enam (tahun). Kami pergi ke Medina dan tinggal di rumah Bani-al-Harithn bin Khazraj. Lalu aku sakit dan rambutku rontok. Tak lama kemudian rambutku tumbuh (lagi) dan ibuku, Um Ruman, datang padaku ketika aku bermain ayunan bersama beberapa dari kawan perempuanku. Ibu memanggilku, aku pergi menghadapnya, tidak tahu apa yang dia inginkan dariku. Ibu memegang tanganku dan membawaku berdiri di depan pintu rumah. Aku tak bisa bernafas, dan ketika aku bisa bernafas lagi, dia (Ibu) mengambil air dan membilas wajah dan kepalaku. Lalu dia membawaku masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah kulihat perempuan2 Ansari yang berkata, “Salam sejahtera dan Berkat Allah dan semoga selamat.” Lalu dia (Ibu) menyerahkanku kepada mereka dan mereka mempersiapkanku (untuk perkawinan). Secara tak terduga, Rasul Allah datang padaku di pagi hari dan ibuku menyerahkanku kepadanya, dan pada saat itu aku adalah seorang gadis berusia sembilan tahun.[11]

Aisyah binti Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menikahi Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq di Makkah ketika Aisyah berumur tujuh tahun dan menggaulinya di Madinah ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menikahi perempuan gadis selain Aisyah binti Abu Bakar. Beliau dinikahkan dengan Aisyah oleh Abu Bakar dengan mahar empat ratus dirham.

SIRAH NABAWIYAH IBNU HISYAM JILID 2

Penulis: Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri,

Penerjemah: Fadhli Bahri, Lc.;

Cetakan V, Darul Falah Jakarta, 2006

704 him; 15,5×24 cm.

Judul Asli: As-Sirah An-Nabawiyah li Ibni Hisyam

Penerbit: Darul Fikr, Beirut 1415 H/l994 M

ISBN 979-3036-17-6632 —Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam-Il

Pernikahan Dengan Nabi

(halaman : 13)

Rasulullah menikahi Aisyah saat dia berusia 6 atau 7 tahun. Beliau mengumpuli , nya saat usianya 9 tahun. Dan Rsulullah wafat saat ‘Aisyah berusia I5 tahun. (HR. Riwayat Muslim).

“Aisyah berkata, ” Rasulullah menikahiku saat aku berumur 6 (enam) tahun dan mengumpuliku saat aku berusia 9 (sembilan) tahun.” Dia berkata, “Kami dan datang ke Madinah, dan kau sakit panas.1. selama satu bulan,kemudian rambutku telah tumbuh kembali hingga kedua telingaku..Ummu Ruman mendatangiku di saat aku berada di ayunan bersama teman-temanku. Dia berteriak memanggilku, aku pun datang, tak tahu apa yangt diinginkan dariku. Maka dia menghentikanku di depan pintu. maka aku berkata, ” hah hah, hingga nafaskn habis.” Kemudian dia memasukkanku ke dalam sebuah rumah yang ternyata, di dalamnya banyak kaum perempuan dari anshar. Mereka berkata, “Semoga senantiasa dalam kebaikan penuh barakah dan dikaruniai nasib yang baik.” Maka aku diserahkan kepada mereka, kemudian mereka memandikan kepalaku dan menghiasiku, tidak pernah aku dikejutkan atas kedatangan seseorang dengan tiba-tiba kecuali saat kedatangan Rasulullah di waktu dhuha, kemudian mereka menyerahkanku kepada-nya.” (Mutafaqun ‘alaihi).

Judul Asli:

‘Atsyah Qudwatun Nisaa’ul Mu’minin wa Habiibatu Rasuulu Rabbul ‘Aalamiin

Penulis: Khalld Abu Shaleh | Edisi Indonesia:

UMMUL MU’MININ ‘

Penerjemah: Wafi’ Zaanuddin Lc,

Editor; Team At-Tibyan

Desain Sampul: Team At-Tibyan Layoiil Team At-Tibyar;

Penerbil: At-Tibyan - Sola Jl. KyaJ Mojo 5B, Solo, 57117

telp./Fax (0271| 652540

email: pustaka@at-tibyan.com, http://www.at-tibyan.com

Sahih Bukhari Volume 7, Buku 62, Nomer 64

FAKTA YANG MERUNTUHKAN IMAN!

Aisyah menceritakan berapa umurnya ketika menikah dengan Nabi, ia berkata, “Rasul menikahiku ketika aku berumur enam tahun dan aku masuk bersamanya ketika umur sembilan tahun, Aku pernah bermain ayunan kemudian Nabi mendatangi-ku untuk mengambil dan mempersiapkanku masuk rumahnya, dan gambarku diperlihatkan dalam sutra.” (HR Abu Dawud)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memulai hari-harinya bersama Rasulullah sejak berumur 9 tahun. Mereka mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang diliputi suasana Nubuwwah. Rumah kecil yang disamping masjid itu memancarkan kedamaian dan kebahagiaan walaupun tanpa permadani indah dan gemerlap lampu yang hanyalah tikar kulit bersih sabut dan lentera kecil berminyak samin (minyak hewan).

Menyusuri jejak pernikahan Nabi dengan Aisyah.

Selain menikah dengan Khadijjah, yaitu dimasa setelah wafatnya sang istri tercinta, Nabi Muhammad juga telah melangsungkan pernikahan secara berturut-turut dengan Saudah binti Zam’ah, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Zainab binti Khuzaimah, Hafshah binti Umar bin Khattab, Ummu Salamah, Juwairiyah binti al-Harits, Zainab binti Jahsy, Saffiyah binti Huyai bin Khattab, Ummu Habibah alias Ramlah binti Abu Sofyan, Mariatul Qibthiyyah dari Mesir dan terakhir dengan Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyyah alias Barrah sekitar tahun ketujuh Hijriyah (629 Masehi).

Dari berbagai pernikahannya itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan keturunan kecuali dari Mariatul Qibthiyyah yang merupakan hadiah dari seorang Gubernur Mesir Maukakis. Ummul Mukminin Maria melahirkan seorang putera yang oleh Rasul diberinya nama Ibrahim. Sayang usianya tidak lama, beliau hanya hidup selama 18 bulan sebelum akhirnya wafat.

Pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah termasuk peristiwa yang kontroversial, tidak hanya bagi kalangan orientalis dan musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan tetapi juga oleh para ahli sejarah Islam sendiri. Seperti tertuang dalam banyak riwayat bahwa usia beliau ketika dinikahi oleh Nabi adalah antara 7 sampai 9 tahunan saat dimana putri Abu Bakar tersebut masih asyik bermain dengan bonekanya.

Imam Bukhari sendiri mencatat perkataan dari ‘Aisyah, “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa Arab) ketika surah Al-Qamar diturunkan” (lihat: Lihat Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr). Sementara surah AL-Qamar (yaitu surah ke-54 dari Al-Quran) diturunkan kepada Nabi pada tahun ke delapan sebelum hijriyah atau pada tahun 614 M (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985). jika ‘Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 tahun (yaitu antara rentang tahun 623 M atau 624 Masehi), maka pada saat Surah Al-Qamar diturunkan ‘Aisyah tentunya masih bayi yang baru lahir (shibyah dalam bahasa Arab).

Sedangkan menurut riwayat Bukhari sebelumnya, ‘Aisyah saat itu justru sudah sebagai seorang gadis muda, bukan bayi yang baru lahir. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain-main. Jadi, ‘Aisyah, telah menjadi Jariyah bukan sibyah (bayi), dengan demikian usianya bukan dalam rentang 6 hingga 13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, melainkan antara usia 14 sampai 21 tahunan.

Salah satu harian Inggris, Daily Telegraph, dalam salah satu edisinya memuat sebuah artikel yang ditulis oleh Charles Moore tentang Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam. Diantara isinya adalah menggugat cerita pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah . Misalnya Moore berkata, “Apakah Nabi Muhammad adalah seorang pengidap paedophile ? Paedophile berasal dari bahasa Yunani Paidophilia, Pais artinya anak kecil dan philia berarti cinta atau teman dekat. Paedophile secara umum dimaknai sebagai penyakit kelainan seksual yang melanda orang dewasa dimana mereka merasa puas melakukan hubungan intim dengan anak-anak kecil.

Mantan Presiden organisasi Islamic Society of North America (ISNA) dan Direktur Islamic Society of Orange County, Garden Grove, California, Dr. Muzammil H. Siddiqi menyatakan bila sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan, berapa sebenarnya umur ‘Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad SAW. Beliau mengatakan, “Dalam sejarah, tidak ada yang memastikan bahwa ia berusia 9 tahun ketika menjadi istri Nabi. Informasi yang ada hanya menyebutkan antara 9 sampai 24 tahun. Tapi kedewasaan ‘Aisyah, tingkat pengetahuannya dan kontribusinya selama hidup Nabi Muhammad dan setelah wafatnya, mengindikasikan bahwa ‘Aisyah bukan gadis berusia 9 tahun yang biasa, dan seharusnya usianya lebih dari itu.”

Selanjutnya sang Profesor juga mengungkapkan bahwa pada saat itu, Nabi Muhammad bukanlah pria pertama yang melamar ‘Aisyah binti Abu Bakar. Sebelumnya, seseorang yang bernama Jubair bin Mut’am yang menurut Imam Thabarani, Jubair bin Mut’am adalah tunangan ‘Aisyah sebelum Abu Bakar memeluk Islam, pertunangan itu diputuskan sepihak oleh Jubair karena dia tidak suka dengan keislaman Abu Bakar. Peristiwa tersebut terjadi ketika Abu Bakar hendak berhijrah ke Habsyah pada tahun 615 Masehi atau 7 tahun sebelum peristiwa Hijrah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya yang bernama Kitabu’l-maghazi (lihat: Kitabu’l-maghazi, Bab ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b) manakala perang Uhud meletus, Nabi Muhammad melarang Ibnu Umar untuk turut serta dalam peperangan dengan alasan bahwa usianya ketika itu baru empat belas tahun. Ibnu Umar baru diperbolehkan oleh Nabi untuk ikut berperang ketika pecah perang Khandaq sebab saat itu usianya sudah lima belas tahun. Sedangkan Ummul Mukminin ‘Aisyah justru telah mengikuti pertempuran Badar dan Uhud bersama Nabi sehingga kesimpulan sementara yang bisa diperoleh adalah usia ‘Aisyah kala itu pasti diatas empat belas tahun.

Ibnu Katsir mengatakan didalam kitabnya Al-Bidayah wa al-nihayah, Vol 8, hal 372 bila Asma adalah kakak Aisyah (lihat: Asma lahir dari pernikahan Abu Bakar dengan Qutailah binti Abd al-Uzza bin Abd bin As’ad dimasa jahiliah sedangkan ‘Aisyah terlahir dari hasil pernikahan Abu Bakar dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman dari Kinanah). Asma wafat dalam tahun 73 Hijriah (695 Masehi) saat berusia 100 tahun, perbedaan usia Asma dengan ‘Aisyah adalah 10 tahun. Beranjak dari usia Asma tersebut maka pada tahun 622 Masehi atau tahun 1 Hijriah usia Asma tentu 27 tahun dan ‘Aisyah berusia 17 tahun. Ketika ‘Aisyah serumah dengan Rasul pada tahun 623 Masehi atau tahun ke-2 Hijriah berarti usia ‘Aisyah sudah 18 tahun.

Bagaimanapun persoalannya yang digugat oleh musuh-musuh Islam, termasuk soal usia ‘Aisyah ketika menikah dengan Nabi SAW tersebut, satu hal penting yang perlu menjadi catatan tersendiri adalah bila pernikahan antara ‘Aisyah dan Nabi Muhammad SAW tidak pernah diperdebatkan oleh sahabat atau para musuh Nabi sendiri yang hidup pada jamannya.

UMUR BERAPA AISYAH MENIKAH?

Penulis itu mendapatkan umur 7 tahun dari hadits seperti berikut ini :

Sahih Muslim Book 008, Number 3311.

‘A’isha (Allah berkenan padanya) mengatakan bahwa Rasulullah (saw) menikahi dia ketika dia berusia tujuh tahun, dan dia dibawa ke rumah Nabi sebagai pengantin ketika berusia sembilan tahun, dan boneka2nya ikut bersamanya; dan dia (sang Nabi) mati ketika ‘A’isha berusia delapan belas tahun.

Sunan Abu-Dawud Book 41, Number 4915, also Number 4916 and Number 4917.

Dinyatakan Aisha, Ummul Mu’minin: Sang Rasul Allah menikahiku ketika aku berusia tujuh atau enam tahun. Ketika kami tiba di Medina, beberapa perempuan datang, menurut versi Bishr: Umm Ruman datang padaku ketika saya sedang bermain ayunan. Mereka memandangku, mempersiapkanku, dan mendandaniku. Kemudian aku dibawa ke Rasul Allah, dan ia hidup bersamaku sebagai suami istri ketika aku berusia sembilan tahun. Ia (Umm Ruman) menghentikanku di pintu, dan aku meledak tertawa.

Rasulullah saw mengisahkan mimpi beliau kepada ‘Aisyah: ”Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu datang bersamamu malaikat yang berkata: ini adalah istrimu. Lalu aku singkap tirai yang menyembunyikan wajahmu, lalu aku berkata sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di sisi Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi dari ‘Aisyah radilayallahu ‘anha)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memulai hari-harinya bersama Rasulullah sejak berumur 9 tahun. Mereka mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang diliputi suasana Nubuwwah. Rumah kecil yang disamping masjid itu memancarkan kedamaian dan kebahagiaan walaupun tanpa permadani indah dan gemerlap lampu yang hanyalah tikar kulit bersih sabut dan lentera kecil berminyak samin (minyak hewan).

Di rumah kecil itu terpancar pada diri Ummul Mukminin teladan yang baik bagi istri dan ibu karena ketataatannya pada Allah, rasul dan suaminya. Kepandaian dan kecerdasannya dalam mendampingi suaminya, menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya. Aisyah menghibur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya. Aisyah menghibur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedih, menjaga kehormatan diri dan harta suami tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berda’wah di jalan Allah.

Wallahu’alam bishowwab.

Aisyah binti Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menikahi Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq di Makkah ketika Aisyah berumur tujuh tahun dan menggaulinya di Madinah ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menikahi perempuan gadis selain Aisyah binti Abu Bakar. Beliau dinikahkan dengan Aisyah oleh Abu Bakar dengan mahar empat ratus dirham.

SIRAH NABAWIYAH IBNU HISYAM JILID 2

Penulis: Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri,

Penerjemah: Fadhli Bahri, Lc.;

Cetakan V, Darul Falah Jakarta, 2006

704 him; 15,5×24 cm.

Judul Asli: As-Sirah An-Nabawiyah li Ibni Hisyam

Penerbit: Darul Fikr, Beirut 1415 H/l994 M

ISBN 979-3036-17-6632 —Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam-Il

Pernikahan Dengan Nabi

(halaman : 13)

Rasulullah menikahi Aisyah saat dia berusia 6 atau 7 tahun. Beliau mengumpuli , nya saat usianya 9 tahun. Dan Rsulullah wafat saat ‘Aisyah berusia I5 tahun. (HR. Riwayat Muslim).

“Aisyah berkata, ” Rasulullah menikahiku saat aku berumur 6 (enam) tahun dan mengumpuliku saat aku berusia 9 (sembilan) tahun.” Dia berkata, “Kami dan datang ke Madinah, dan kau sakit panas.1. selama satu bulan,kemudian rambutku telah tumbuh kembali hingga kedua telingaku..Ummu Ruman mendatangiku di saat aku berada di ayunan bersama teman-temanku. Dia berteriak memanggilku, aku pun datang, tak tahu apa yangt diinginkan dariku. Maka dia menghentikanku di depan pintu. maka aku berkata, ” hah hah, hingga nafaskn habis.” Kemudian dia memasukkanku ke dalam sebuah rumah yang ternyata, di dalamnya banyak kaum perempuan dari anshar. Mereka berkata, “Semoga senantiasa dalam kebaikan penuh barakah dan dikaruniai nasib yang baik.” Maka aku diserahkan kepada mereka, kemudian mereka memandikan kepalaku dan menghiasiku, tidak pernah aku dikejutkan atas kedatangan seseorang dengan tiba-tiba kecuali saat kedatangan Rasulullah di waktu dhuha, kemudian mereka menyerahkanku kepada-nya.” (Mutafaqun ‘alaihi).

Judul Asli:

‘Atsyah Qudwatun Nisaa’ul Mu’minin wa Habiibatu Rasuulu Rabbul ‘Aalamiin

Penulis: Khalld Abu Shaleh | Edisi Indonesia:

UMMUL MU’MININ ‘

Penerjemah: Wafi’ Zaanuddin Lc,

Editor; Team At-Tibyan

Desain Sampul: Team At-Tibyan Layoiil Team At-Tibyar;

Penerbil: At-Tibyan - Sola Jl. KyaJ Mojo 5B, Solo, 57117

telp./Fax (0271| 652540

email: pustaka@at-tibyan.com, http://www.at-tibyan.com

Sahih Bukhari Volume 7, Buku 62, Nomer 64

Dikisahkan oleh ‘Aisha: Bahwa sang Nabi menikahinya ketika ia berusia enam tahun dan sang Nabi menyetubuhinya ketika dia berusia sembilan tahun, dan dia terus bersama sang Nabi selama sembilan tahun (sampai Nabi mati).

Sahih Muslim Buku 008, Nomer 3310:

‘A’isha (Allah berkenan padanya) melaporkan: Rasulullah (saw) menikahiku ketika aku berusia enam tahun, dan aku diterima di rumahnya pada waktu aku berusia sembilan tahun.

Sahih Bukhari Volume 7, Buku 62, Nomer 88

Dikisahkan oleh ‘Ursa: Sang Nabi menulis (kontrak kawin) dengan ‘Aisha ketika dia berusia enam tahun dan menyetubuhinya ketika dia berusia sembilan tahun dan dia tinggal bersama sang Nabi selama sembilan tahun (sampai Nabi mati).

Sahih Bukhari 5.234

Dikisahkan oleh Aisha: Sang Nabi bertunangan denganku ketika aku masih seorang gadis kecil berusia enam (tahun). Kami pergi ke Medina dan tinggal di rumah Bani-al-Harithn bin Khazraj. Lalu aku sakit dan rambutku rontok. Tak lama kemudian rambutku tumbuh (lagi) dan ibuku, Um Ruman, datang padaku ketika aku bermain ayunan bersama beberapa dari kawan perempuanku. Ibu memanggilku, aku pergi menghadapnya, tidak tahu apa yang dia inginkan dariku. Ibu memegang tanganku dan membawaku berdiri di depan pintu rumah. Aku tak bisa bernafas, dan ketika aku bisa bernafas lagi, dia (Ibu) mengambil air dan membilas wajah dan kepalaku. Lalu dia membawaku masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah kulihat perempuan2 Ansari yang berkata, “Salam sejahtera dan Berkat Allah dan semoga selamat.” Lalu dia (Ibu) menyerahkanku kepada mereka dan mereka mempersiapkanku (untuk perkawinan). Secara tak terduga, Rasul Allah datang padaku di pagi hari dan ibuku menyerahkanku kepadanya, dan pada saat itu aku adalah seorang gadis berusia sembilan tahun.

Sahih Bukhari Volume 7, Book 62, Number 90

Dinyatakan Aisha: Ketika sang Nabi menikahiku, ibu datang padaku dan membawaku ke dalam rumah (sang Nabi) dan TIDAK ADA YANG LEBIH MENGAGETKANKU SELAIN KEDATANGAN SANG NABI ALLAH PADAKU DI PAGI HARI.

FAKTA YANG MERUNTUHKAN IMAN!

Aisyah menceritakan berapa umurnya ketika menikah dengan Nabi, ia berkata, “Rasul menikahiku ketika aku berumur enam tahun dan aku masuk bersamanya ketika umur sembilan tahun, Aku pernah bermain ayunan kemudian Nabi mendatangi-ku untuk mengambil dan mempersiapkanku masuk rumahnya, dan gambarku diperlihatkan dalam sutra.” (HR Abu Dawud)


[1] ويسن أن لاتزوج الصغيرة حتى تبلغ “Disunnahkan untuk tidak mengawinkan (menikahkan) anak perempuan yang masih kecil sehingga ia baligh”. [lihat Hasyiyah al-Bajury, II/109. t.t. al-Haromain]. Mafhum muwafaqah dari pernyataan ini adalah adanya anjuran untuk menikahkan anak perempuan setelah ia baligh. Sedangkan mafhum mukhalafah nya adalah tidak dilarang menikahkan anak perempuan yang masih kecil.

[2] Liputan6.com, Ambarawa: Lutfiana Ulfa, bocah yang dinikahi Pujiono Cahyo Widiyanto atau Syekh Puji Agustus lalu, akhirnya memberikan keterangan pada polisi terkait pernikahan tersebut. Bocah yang belum genap berusia 12 tahun itu menyatakan menolak dipisahkan dengan Syekh Puji dan tetap akan menjadi istrinya.
Ulfa mengatakan, dirinya merasa senang dan aman di tempat Syekh Puji. "Saya heran mengapa orang-orang diluar sana meributkan saya," ucap Ulfa. Lebih lanjut Ulfa memohon doa dari teman-teman dan keluarga semua.

[3] Dalam literatur ‘keislaman’ dikenal Qawaid al-Fiqhiyah. Terkait dengan hal tersebut berbunyi العادة محكمة yang secara sederhana dapat diartikan bahwa hukum adat istiadat setempat bisa dijadikan sebuah hukum (dalam Islam pada sosial masyarakat setempat). Yang berdasarkan pada firman Allah swt (Q.S al-A’raf [7]:199), خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين (al-‘urf oleh ulama ushul fiqh ditafsiri dengan al-‘adat atau adapt istiadat) atau tingkah laku yang baik sebagaimana riwayat hadist dari al-Turmudzi yang disampaikan oleh imam al-Qurthuby menjelaskan tafsir ayat tersebut dengan redaksi وخالق الناس بخلق حسن.(lihat tafsir Qurthuby XVIII/228). Dan didukung juga dengan hadis dari riwayat dari Ibnu Mas’ud فما رآه المسلمون حسنا فهو حسن (الحديث).(lihat al-Duror al-Mustantsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah, I/19) Akan tetapi qaidah tersebut untuk dapat dijadikan sebuah hukum bukannya tanpa persyaratan. Di antara syarat-syaratnya adalah; tradisi tersebut harus tidak terjadi sekali saja, dan tidak bertentangan dengan hukum syara’.

[4] Dep.Ag. RI, Al-Quran dan Terjemahnya.

[5] Al-Thabary, Tafsir al-Thabari, Juz VII, Hal 547-548.

[6] Dep.Ag. RI, Al-Quran dan Terjemahnya.

[7] Al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, Juz V, Hal 33-34.

[8] Muslim, Shahih Muslim, VII/246.

[9] Muslim, Shahih Muslim, VII/245.

[10] Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, XII/282. dan Muslim, Shahih Muslim, VII/244.

[11] Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, VI/134
read more “WAHYU DAN AKAL, IMAN DAN ILMU”

Jumat, 19 Juni 2009

Jihad dalam Alqur'an

“JIHAD ataukah AMAR MA’RUF?”

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan Ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. al-Taubah [9]; 123).


Jihad;
Secara tekstual, ayat tersebut bisa dipahami sebagai legitimasi untuk berbuat kekerasan terhadap orang-orang non-muslim. Akan tetapi, secara kontekstual tidaklah demikian. Agar memperoleh pemahaman yang tidak bersifat sepihak, tentunya juga merujuk pada ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang masalah (etika) peperangan (jihad). Antara lain, Firman Allah SWT, Q.S. al-Baqarah [2] 190-195:

Dari keenam ayat tersebut, dapat difahami adanya hal-hal yang harus diperhatikan dalam memerangi orang-orang kafir (jihad), antara lain:
 Tujuan; membela (menegakkan) agama Allah.
 Lawan; orang-orang (kafir) yang memerangi umat Islam atau mengusir kaum Muslimin dari negeri mereka.
 Aturan; tidak melewati batas.
 Gencatan senjata; yang datangnya dari orang-orang (kafir).
 Perdamaian; kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.
 Waktu; selain bulan-bulan tertentu yang dilarang berperang bagi umat Islam, kecuali membalas serangan orang-orang kafir.
 Tempat; selain Masjid al-Haram, kecuali membalas serangan mereka (orang-orang kafir).
 Praktek; berperang dengan (alat-alat dan strategi perang) yang memadai.
 Seruan; penggalangan dana perang.
 Perintah; bertaqwa dan berbuat baik (dalam kondisi peperangan).
 Larangan; melakukan serangan bunuh diri (kamikaze).

Amar Ma’ruf;
Dari pendekatan bahasa (linguistic), Amar Ma’ruf-Nahi Munkar secara sederhana, bisa diartikan dengan ‘memerintahkan kebaikan dan mencegah keburukan’ atau ‘memerintahkan dengan (cara) yang baik dan mencegah dari (hal-hal) yang buruk’, dengan tujuan yang baik pula.
Firman Allah SWT,
  •             
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.

Setidaknya ada dua hal yang harus digaris bawahi.
Pertama; bahwasanya menyuruh kepada yang ma’ruf atau perintah berbuat baik lebih cenderung dengan menggunakan seruan-seruan verbal (bi al-lisan). Sedangkan mencegah dari yang munkar bukan berarti menghilangkan kemunkaran dengan perusakan. Kedua; Amar-Ma’ruf dan Nahi-Munkar memiliki tingkatan-tingkatan (level). Hal ini sebagaimana tersurat secara eksplisit dalam sabda baginda Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.
Dari Abi sa’id al-Khudzri; Aku mendengar Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Barang siapa yang melihat diantara kalian kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan hal itu selemah-lemah iman”.

Konsep Al-Ghazaly;
“Bahwasanya Amar Ma’ruf-Nahi Munkar itu wajib, dan sesungguhnya kewajiban akan hal itu belumlah gugur beserta adanya kemampuan kecuali ada salah seorang yang melakukannya”

Amar Ma’ruf-Nahi Munkar mempunyai 4 rukun, yaitu: penyeru, orang yang diseru, perbuatan yang diseru, dan seruan itu sendiri. Adapun si penyeru, syaratnya harus seorang muslim, mukallaf, dan mampu. Termasuk di dalamnya perseorangan, orang yang fasiq, dan perempuan. Sekalipun mereka tidak mendapatkan izin. Syarat kedua adalah Islam, karena ia membela Islam.
Adab orang yang menyeru; hendaklah ia seorang alim dan berakhlak baik, bersikap lemah lembut, dan tidak bersikap keras. Adapun ilmu, maka hendaklah ia mengetahui batas-batas teguran dan wara’ supaya ia membatasi pada batas yang dibenarkan.
Dalam pembahasan ini, perlu diketahui bahwasanya amar ma’ruf-nahi munkar (al-hisbah) memiliki 5 tingkatan (level). Pertama, pemberitahuan (al-ta’rif). Kedua, memberi nasehat (al-wa’zhu) dengan perkataan yang lemah lembut. Ketiga, mengecam atau mencela (al-sabb wa al-ta’nif). Keempat, mencegah dengan paksaan (al-man’u bi al-qahri) dengan tindakan fisik pada sarana kemunkaran. Dan kelima, memberikan ancaman (al-takhwif wa al-tahdid) dengan tindakan fisik pada pelaku kemunkaran, sehingga ia tidak melakukan kemunkaran tersebut.
Perlu juga diingat dalam amar ma’ruf-nahi munkar terdapat kondisi-kondisi penyeru amar ma’ruf-nahi munkar (al-muhtasib) yang sama hukumnya. Pertama, si penyeru mengetahui bahwasanya ucapannya tidaklah berpengaruh apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan perlawanan fisik jika menyeru dengan perkataan. Maka ia tidak wajib melakukan amar ma’ruf. Kedua, si penyeru tahu bahwasanya kemunkaran itu bisa lenyap dengan sebab seruannya atau tindakan fisik darinya, akan tetapi ia merasa tidak mampu karena khawatir akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Maka ia wajib inkar dalam hati. Ketiga, si penyeru tahu bahwa seruan atau pun tindakannya tidak akan memberi pengaruh apa-apa, ia pun tidak khawatir akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Maka ia tidak wajib melakukan amar ma’ruf, karena tidak ada gunanya. Akan tetapi masih dianjurkan untuk melakukan amar ma’ruf dalam rangka menampakkan syi’ar agama dan mengingatkan orang-orang dengan perintah agama. Keempat, si penyeru tahu bahwa ia akan mendapatkan perlakuan tidak baik secara fisik, akan tetapi kemunkaran akan lenyap dengan tindakannya. Maka baginya tidak wajib, dan tidak haram melakukan amar ma’ruf. Hanya saja hal itu masih tetap dianjurkan.
Ditinjau dari sisi kemunkaran itu sendiri, maka dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok; pertama, kemunkaran yang sangat kuat dan sudah mencapai titik kulminatif. Maka akan diberlakukan had, atau ta’zir. Dan yang berhak memberikan hukuman dalam hal ini adalah pemerintah, bukan tiap individu. Kedua, kemunkaran yang bersifat terus menerus (continou) ada pada pelaku, maka menghilangkan kemungkaran semacam ini wajib dengan cara apa saja yang mungkin dilakukan, selama tidak akan menimbulkan adanya kemaksiatan yang sama atau lebih parah. Ketiga, kemunkaran yang masih bersifat asumtif. Maka baik bagi personal ataupun yang mempunyai otoritas kekuasaan hanya boleh melakukan nasehat ataupun teguran saja.

Kepedulian Sosial;
Baik Jihad ataupun Amar Ma’ruf–Nahi Munkar, hendaknya tidak mengabaikan akibat yang ditimbul-kan, terutama sisi kemanusiaan (humanis) dalam bentuk kepedulian sosial. Secara sederhana, sosial bisa diartikan dengan kebersamaan dalam masyarakat atau kemasyarakatan. Prinsip-prinsip dalam interaksi sosial adalah sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah SWT, Q.S. al-Hujurat [49] 11-13: yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjing-kan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Prinsip-prinsip kepedulian sosial tersebut akan terealisasi dengan optimal seiring usaha manusiawi. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an, Surat al-Ra’du [13]: 11: yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Kepedulian sosial bukan hanya terbatas pada umat Islam, akan tetapi terhadap siapa saja yang berada di sekitar kaum muslimin dengan kriteria-kriteria yang disebutkan dalam firman Allah SWT, Q.S al-Mumtahanah [60] 8-9, yang artinya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berbuat baik terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Perbedaan yang menjadi realitas sosial tentunya tidak dapat dihindari. Menyikapi hal ini perlu ditumbuhkembangkan sikap toleransi (tasamuh) yang dapat dipahami dari firman Allah SWT, Q.S. al-Baqarah [2]: 139, yang artinya: “Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal DIA adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu, dan Hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati”.
Sikap toleran tersebut terbatas pada urasan-urusan sosial, sedangkan dalam hal keyakinan (aqidah), ada garis yang jelas yang senantiasa tidak boleh diabaikan. Sebagaimana secara eksplisit tercantum dalam firman-NYA pada surat ke 109 ayat 1-6, yang artinya: “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."


Dilematika Amrozi dkk;
Memilih dua pilihan yang sulit ibarat berada di persimpangan jalan, karena tidak mungkin memilih keduanya, maka salah satu mesti menjadi pilihan. Dari satu sisi dan pihak tertentu, tragedi Bom Bali adalah perbuatan ‘mulia’, dipahami sebagai bentuk jihad, dan akan mendapatkan balasan kebaikan berlipat ganda menurut para pelakunya. Sedangkan dari aspek lain, kejadian tersebut merupakan perbuatan yang sangat tidak terpuji dan dikecam secara habis-habisan plus penyematan nama ‘teroris’. Yang pasti, apa yang dilakukan Imam Samudera dkk merugikan banyak pihak.
Menyikapi hal dilematis, tidak ada salahnya jika memperhatikan permasalahan seperti itu dari perspektif fiqh yang tentunya tidak boleh luput dari qaidah-qaidah fiqhiyah-nya. Antara lain:
Apabila dua kerusakan saling berbenturan, maka dijaga yang lebih besar kemudlaratan dari keduanya dengan melakukan yang lebih ringan dari keduanya. Senada dengan qaidah tersebut, qaidah yang berbunyi: Menolak kerusakan didahulukan dari pada menarik kemaslahatan. Dan jika kontradiktif antara mafsadat dan mashlahat, maka didahulukan menolak kerusakan (mafsadat) pada umumnya. Karena perhatian Syari’ terhadap larangan-larangan lebih kuat dari pada perhatian Syari’ terhadap perintah-perintah. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW bersabda: “Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara, maka kerjakanlah perintah itu dengan semampumu, dan jia aku melarang dari sesuatu, maka jauhilah hal itu”.



read more “Jihad dalam Alqur'an”

KEDATANGAN ISLAM DAN HUBUNGAN

Sejarah pertumbuhan jaringan antara penuntut ilmu dari Nusantara antara dengan banyak ulama Timur Tengah khususnya Haramayn, melibatkan proses-proses historis yang sangat kompleks. Proses dan alur histories yang terjadi dalam perjalanan Islam di Nusantara dalam hubungannya dengan perkembangan Islam di Timur Tengah, bisa dilacak sejak masa-masa awal kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara sampai kurun waktu yang demikian panjang. Yaitu sejak terjadinya interaksi kaum Timur Tengah dengan Nusantara sampai akhir abad ke-18. Terdapat pula perubahan-perubahan penting berbentuk interaksi yang terjadi. Berawal dari bentuk hubungan ekonomi Melayu-Indonesia dan dagang, disusul hubungan politik keagamaan, dan untuk selanjutnya diikuti hubungan intelektual keagamaan.
Teori-teori Kedatangan Islam
Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal-muasal Islam di Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel. Dia mengaitkan asal-muasal Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermadzhab syafi'i yang berimigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak benua India, Muslim Deccan-banyak di antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara-datang ke Dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab-kebanyakan keturunan Nabi Muhammad saw. karena menggunakan gelar sayyid atau syarif-yang me-nyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Snouck Hurgronje tidak menyebut secara ekplisit dari wilayah mana di India Selatan yang ia pandang sebagai asal Islam di Nusantara. Tetapi ia menyebut abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara.
Salah satu teori teori tersebut ada yang mengatakan bahwa asal-muasal Islam di Nusantara adalah anak benua India, bukan Persia atau Arabia. Dikaitkan dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Orang-orang Arab bermazhab Syafi’i Melayu-Indonesia yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera, khususnya yang bertanggal 17 Dzu Al-Hijjah 831 H./27 September 1428 M. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Mawlana malik Ibrahim (w.822/1419) di Gresik, Jawa Timur, ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal, tetapi juga unutk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan meng-impor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.
Kesimpulan-kesimpulan Moquette ini ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Malik Al-Shalih dengan batu nisan di Gujarat. Menurut penelitian-nya, bentuk dan gaya batu nisan Malik Al-Shalih berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah didatangkan dari daerah ini. Ini menjadi alas an utamanya untuk me-nyimpulkan, bahwa asal Islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan "teori batu nisan" ini, Fatimi mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475/1082) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.
Teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal tentu saja bisa dipersoalkan lebih lanjut termasuk, misalnya, berkenaan dengan adanya per-bedaan madzhab yang dianut kaum Muslim Nusantara (Syafi'i) dan madzhab yang dipegang kaum Muslim Bengal (Hanafi). Tetapi, terlepas dari masalah ini, teori Fatimi yang dikemukakannya dengan begitu bersemangat gagal meruntuhkan teori Moquette, karena sejumlah sarjana lain telah mengambil-alih kesimpulannya; dan yang paling terkenal di antara mereka ini adalah Kern, Winsted, Bousquet, Vleke, Gonda, Schrike, dan Hall. Sebagian mereka memberikan kesimpulan Moquette. Wintedt, misalnya, mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perlak, Semenanjung Malaya. Ia berhujah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor dari sana. Ia juga mencatat, Sejarah Melayu mengandung beberapa bukti yang membenarkan hal ini; antara lain disebutkan kebiasaan di beberapa wilayah di Nusantara mengimpor batu nisan dari Gujarat. Schrieke juga menyokong teori ini dengan menekankan signifikansi peran penting yang dimainkan para pedagang Muslim Gujarat dalam perdagangan di Nusantra dan kemungkinan andil besar mereka dalam penyebaran Islam.
Teori tentang Gujara sebagai tempat asal Islam di Nusantara terbukti mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu. Ini dibuktikan, misalnya oleh Marrison. Ia berargumen, meski batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat–atau berasal dari Bengal, seperti dikemukakan Fatimi–itu tidak lantas berarti Islam juga didatangkan dari sana. Marrison mematahkan teori ini dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudera-Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699/1298), Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasa-an Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik Al-Shalih, tegasnya sebelum 698/1297. Marrison selanjutnya mencatat, meski laskar Muslim menyerang Gujarat beberapa kali, masing-masing 415/1024, 574/1178 dan 595/1197, raja Hindu di sana mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 698/1279. Memperhingkan semua ini, Marrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang dipegang Arnold. Menulis jauh sebelum Marrison, Arnold berpendapat bahwa Islam di bawa ke Nusantara antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjuk kepada persamaan madzhab fikih di antara kedua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah pengikut madzhab Syafi’i, yang juga cukup dominan di wilayah Coromandel dan Malabar, seperti disaksikan oleh para ‘Ibn Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan ini. Menurut Arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini mendatangi pelabuh-an-pelabuhan dagang dunia Melayu-Indonesia di mana mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam perdagangan.
Tetapi penting dicatat, menurut Arnold, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga di Arabia. Dalam pandangannya, para pedagan Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijri atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, cukup pantas mengasumsi-kan bahwa mereka terllibat pula dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi ini menjadi lebih mungkin, kalau orang, misalnya, mempertimbangkan fakta yang disebutkan sumber-sumber Cina, bahwa men-jelang akhir perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pe-mimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nucleus sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal. Menurut Arnold, anggota-anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran Islam.
Dalam kaitan ini menarik disinggung bahwa kitab ‘Aja’ib Al-Hind, salah satu sumber Timur Tengah (asllinya berbahasa Persia) paling awal tentang Nusantara, mengisyaratkan tentang eksistensi komunitas Muslim lokal di wilayah kerajaan Hindu-Budha Zabaj (Sriwijaya). Kitab yang ditulis Buzurg b. Shahriyar Al-Ramhurmuzi sekitar tahun 390/1000 ini meriwayatkan tentang kunjungan para pedagang Muslim ke kerajaan Zabaj. Para pedagang Muslim ini menyaksikan kebiasaan di kerajaan itu, bahwa setiap orang Muslim–baik pendatang maupun penduduk lokal–yang ingin menghadap raja harus “bersila” (برسيلا). Kata “bersila” yang digunakan kitab ‘Ajaib Al-Hind pastilah salah satu di antara sedikit kata Melayu yang pernah digunakan dalam teks Timur Tengah. Terlepas dari soal bahasa ini, kewajiban bersila yang di-sebutkan juga berlaku bagi penduduk Muslim lokal, mengisyaratkan telah terdapatnya sejumlah penganut Islam dari kalangan penduduk asli kerajaan Zabaj. Sayang teks ini diislamkan oleh para pedagang arab tersebut. Yang jelas, kebiasaan bersila tersebut kemudian dihapuskan oleh raja Sriwijaya setelah pedagan Oman memprotes bahwa tradisi itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Teori bahwa Islam jgua dibawa langsung dari Arabia dipegang pula oleh Crawfurd, walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum Muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk Muslim di kedua wilayah kepada madzhab Syafi’i. “Teori Arab” ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander dengan sedikit revisi; mereka memandang bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadhramawt. Sebagian ahli Indonesia setuju dengan “teori Arab” ini. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indonesia mereka menyimpulkan, Islam datang langsung dari Arabia, tidak dari India; tidak pada abad ke-12 atau ke-13 melainkan dalam abad pertama Hijri atau abad ke-7 Masehi.
Di antara pembela tergigih “teori Arab” atau, sebaliknya, penentang terkeras “teori India” adalah Naguib Al-Attas. Seperti Marrison, ia juga tidak bisa menerima penemuan epigrafis yang disodorkan Moquette sebagai bukti langsung bahwa Islam dibawa dari Gujarat ke Pasai dan Gresik oleh Muslim India. Ia berpendapat, batu-batu nisan itu dibawa dari India semata-mata karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan Arabia. Ia memandang, bukti paling penting yang perlu dikaji ketika membahas ke-datangan Islam ke Nusantara adalah karakteristik internal Islam di Dunia Melayu-Indonesia itu sendiri. Ia mengajukan apa yang disebutnya “teori umum tentang islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan terutama pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan-dunia Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10-11/16-17.
Demikianlah, setelah mempertimbangkan perubahan-perubahan utama dalam pandangan dunia rakyat di Nusantara yang disebabkan kedangan Islam, Al-Attas menyimpulkan, sebelum abad ke-17 seluruh literatur keagamaan Islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang Muslim India, atau karya yang berasal dari India. Pengarang-pengarang yang dipandang kebanyakan sarjana Barat sebagai berasal dari Arab atau Persia, dan bahkan apa yang disebut sebagai berasal dari Persia pada akhirnya berasal dari Arab, baik secara etnis maupun kultural. Nama-nama dari gelar-gelar para pembawa pertama Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Arab-Persia. Al-Attas selanjutnya menandaskan:
Benar bahwa sebagian karya itu ditulis di India, tetapi asal-muasalnya adalah Arab atau Persia; atau karya-karya itu–sebagian kecilnya–berasal dari Turki atau Maghrib; dan apa yang lebih penting, kandungan keagamaannya adalah Timur Tengah, bukan India.
Terlepas dari masalah-masalah yang terdapat dalam argumen Al-Attas ini, yang jelas, ia sangat menekankan bahwa Islam di Nusantara ber-asal langsung dari Arab. Argumennya ini selaras dengan apa yang di-ceritakan oleh histografi lokal tentang Islamisasi di dunia mereka. Meski historiografi lokal ini sering bercampur dengan mitos dan legenda, tetapi ada baiknya kita mendengarkan apa yang mereka ceritakan.
Menurut Hikyat Raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350), seorang Syaikh ‘Isma’il datang dengan kapal dari Makkah via Malabr ke Pasai–di sini ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudi-an mengambil gelar Malik Al-Shalih yang seperti dicatat terdahulu, wafat pada 698/1297. Seabad kemudian sekitar 817/1414, menurut Sejarah Melayu (ditulis sekitar 1500), penguasa Malak juga diislamkan oleh Sayyid ‘Abd Al-‘Aziz seorang Arab dari Jeddah. Begitu masuk Islam, penguasa itu, Para-meswara, mengambil nama dan gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi Melayu lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa, (ditulis setelah 1630), me-riwayatkan bahwa seorang Syaikh ‘Abd Allah Al-Yamani datang dari Makkah (atau Baghdad?) ke Nusantara dan mengislamkan penguasa setempat (Phra Ong Mahawangsa), para menterinya dan penduduk Kedah. Penguasa ini setelah masuk Islam menggunakan gelar dan nama Sultan Muzhaffar Syah. Sementara itu, sebuah historiografi dari Aceh memberikan informasi bahwa nenek moyang para sultan Aceh adalah seorang Arab bernama Syaikh Jamal Al-‘Alam, yang dikirimkan Sultan Utsmani untuk mengislamkan penduduk Aceh. Sebuah riwayat Aceh lainnya menyatakan, bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang Arab bernama Syaikh Abd Allah ‘Arif sekitar 506/1111.
Tarsilah (silsilah) raja-raja Muslim dari Kesultanan Sulu di Filipina meriwayatkan cerita senada. Menurut sebuah tarsilah, Islam disebarkan di wilayah ini pada paruh kedua abad ke-8/14 oleh seorang Arab bernama Syarif Awliya’ Karim Al-Mkhdum, yang datang dri Malaka pada 782/1380. Silsilah Sulu mengklaim ia adalah ayah dari Mawlana Malik Ibrahim, salah seorang di antara “Wali Sanga” yang dipercayai mengislamkan Pulau Jawa. Setelah itu, datang pula seorang Arab bernama ‘Amin Allah Al-Makhdum yang juga di-kenal dengan gelar Sayyid Al-Niqab. Ia dipercaya datang ke wilayah ini ber-sama sejumlah Cina Muslim. Gelombang Islamisasi selanjutnya di Sulu, khususnya di pedalaman, terjadi ketika seorang Arab bernama Sayyid ‘Abu Bakr datang ke wilayah ini. Seluruh tarsilah yang ada bersepakat bahwa ia di-jadikan sultan pertama Kesultanan Sulu dengan gelar Syarif Al-Hasyim. Dua orang Arab lainnya yang juga berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan ini disebut bernama “Mohadum” dan ‘Alawi Al-Barpaki. Keduanya dikatakan sebagai saudara Sayyid ‘Abu Bakr. Hunt, seorang pengembara Barat di Sulu pada masa itu, menulis bahwa “Seorang sufi lain datang dari Makkah, bernama Sayed Barpaki, berhasil memasukkan hampir seluruh penduduk ke dalam Islamisme.
Kebanyakan sarjana bersepakat, bahwa di antara para penyebar pertama Islam di Jawa adalah Mawlana Malik Ibrahim, yang namanya sudah disebut di atas. Ia dilaporkan mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk raja Hindu-Budha Maja-pahit, Vikramavarddhana (berkuasa 788-833/1386-1429) agar masuk Islam. Tetapi kelihatannya, hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang da’i Arab di Campa, Islam memperoleh momentum di istana Majapahit. Ia di-gambarkan mempunyai peran menentukan dalam Islamisasi Pulau Jawa dan karenanya, dipandang sebagai pemimpin Wali Sanga dengan gelar Sunan Ampel. Adalah di Ampel ia mendirikan sebuah pusat keilmuan Islam. Pada saat keruntuhan Majapahit, terdapat seorang Arab lain, Syaikh Nur Al-Din Ibrahim b. Mawlana Izrail, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati. Ia belakangan memapankan diri di Kesultanan Cirebon. Seorang sayyid terkenal lain di Jawa adalah Mawlana Ishaq yang dikirim Sultan Pasai untuk mencoba mengajak penduduk Blambangan, Jawa Timur, masuk Islam.
Mempertimbangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi klasik ini, maka kita bisa mengambil empat tema pokok. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyair “profesional” –yakni mereka yang memang khusus bermaksud me-nyebarkan Islam; Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan Keempat, kebanyakan para penyebar Islam “profesional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema terakhir ini, seperti dibahas di depan, mungkin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijri, sebagaimana dikemuka-kan Arnold dan dipegangi banyak sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi hanyalah setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses Islamisasi tampaknya mengalami akselerasi antara abad ke12 dan ke-16.
Telah dikemukakan pula di depan, kebanyakan sarjana Barat me-megang teori bahwa para penyebar pertama Islam di Nusantara adalah para pedangang Muslim yang menyebarkan Islam sembari melakukan perdagangan di wilayah ini, maka nucleus komunitas-komunitas Muslim pun tercipta, yang pada gilirannya memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Selanjutnya dikatakan sebagian pedagang ini melakukan perkawinan dengan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk pe-nyebaran Islam.
Dalam kerangka ini, van Leur percaya bahwa motif ekonomi dan politik sangat penting dalam masuk Islamnya penduduk Nusantara. Dalam pendapatnya, para penguasa pribumi yang ingin meningkatkan kegiatan-kegiatan perdagangan di wilayah kekuasaan mereka menerima Islam. Dengan begitu mereka mendapatkan dukungan para pedagang Muslim yang me-nguasai sumber-sumber ekonomi. Sebaliknya, para penguasa memberi perlindungan dan konsesi-konsesi dagang kepada para pedagang pribumi Nusantara dapat berpartisipasi secara lebih ekstensif dan menguntungkan dalam perdagangan internasional yang mencakup wilayah sejak dari Laut Merah ke Laut Cina. Lebih lanjut, dengan masuk Islam dan mendapat dukung-an para pedagang Muslim, para penguasa itu dapat mengabsahkan dan mem-perkuat kekuasaan mereka, sehingga mampu mengkis jaring-jaring kekuasaan Majapahit.
Teori ini jelas bertentangan dengan riwayat yang disampaikan hitorio-grafi klasik tadi. Teori meletakkan terlalu banyak tekanan pada motif-motif ekonomi dan sekaligus peran para pedagang. Di sini penting mengemukakan hujah Johns: sulit mempercayai bahwa para pedagang Muslim ini juga berfungsi sebagai para penyebar Islam. Jika benar mereka juga bertindak sebagai penyiar Islam, maka cukup diragukan apakah jumlah penduduk yang berhasil mereka Islamkan cukup besar dan signifikan. Lebih jauh lagi–dan ini argumen terpenting–jika memang mereka sangat aktif dalam penyiaran Islam, mengapa Islam kelihatannya nyata sebelum abad ke-12. Padahal para pe-dagang Muslim sejak abad ke-7, tidak terdapat bukti tentang terdapatnya penduduk Muslim lokal dalam jumlah besar atau tentang terjadinya Islamisasi substansial di Nusantara.
Schrieke juga membahas tentang motif penyebaran Islam di kalangan rakyat di Nusantara. Ia tak percaya bahwa perkawinan antara para pedagang dengan pra keluarga bangsawan menghasilkan konversi kepada Islam dalam jumlah besar. Ia menolak pula bahwa kaum pribumi pada umumnya ter-motivasi masuk Islam karena penguasa mereka telah memeluk agama ini. Dalam pendapatnya, adalah ancaman Kristen yang mendorong penduduk Nusantara untuk masuk Islam dalam jumlah besar. Jadi, menurut dia, penyebaran dan ekspansi luar biasa Islam merupakan hasil dari semacam per-tarungan antara Islam dan Kristen untuk mendapatkan penganut-penganut baru di kawasan ini. Schrieke mendasarkan teorinya ini dengan melihat apa yang dipandangnya sebagai konfrontasi antara Islam dan Kristen di Timur Tengah dan Semenanjung Iberia. Menurut dia, penyebaran Islam secara besar-besaran di Nusantara terjadi ketika pertarungan tengah berlangsung antara Portugis melawan para pedagang dan penguasa-penguasa Muslim di Arabia, Persia, India, dan Nusantara. Ia menyimpulkan, penyebaran Islam dipandang sebagai kekuatan tandingan terhadap gospel Kristen yang agresif. Tetapi argumen Schrieke ini sulit diterima. Karena apa yang disebutnya “pertarungan antara Islam dan Kristen” di Nusantara paling mungkin terjadi hanya setelah tahun 1500 ketika orang-orang Eropa mulai datang ke Nusantara, tidak pada abadk ke-12 atau ke-13, ketika berlangsungnya Islamisasi besar-besaran di Nusantara.
Teori yang lebih masuk akal dengan tingkat aplikabilitas lebih luas dibandingkan semua teori di atas disajikan oleh A.H. John. Dengan memper-timbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan peran terpenting dalam penyebaran Islam, ia mengajukan bahwa adalah para sufi pengembara yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekan-kan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah Melayu-Indonesia, Johns memeriksa sejumlah sejarah lokal untuk memperkuat hujahnya.
Menurut Johns, banyak sumber lokal mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Karakteristik lebih terinci mereka ini adalah sebagai berikut:
Mereka adalah para penyiar (Islam) pengembara yang berkelana di seluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan, sesuai dengan tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia, yang mereka tempatkan ke bawah (ajaran Islam), (atau) yang merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam; mereka me-nguasai ilmu magis, dan memiliki kekuatan yang menyembuhkan; mereka siap memelihara kontinuitas dengan masa silam, dan menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra-Islam dalam konteks Islam.
Jadi, berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi dapat mengawini putri-putri bangsawan dan, karena itu, memberikan kepada anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahi-an atau karisma keagamaan. Hasilnya, kesimpulan Johns, Islam tidak dapat dan tidak menancapkan akarnya di kalangan penduduk negara-negara Nusantara atau mengislamkan para penguasa mereka sampai Islam disiarkan para sufi, dan ini tidak merupakan gambaran dominan perkembangan Islam di Nusantara samapai abad ke-13. Teori sufi ini disokong oleh Fatimi, misalnya, yang memberikan argumen tambahan. Ia, antara lain, menunjuk kepada sukses yang sama dari kaum sufi dalam mengislamkan jumlah besar penduduk Anak Benua India pada periode yang sama.
Persoalannya kemudian, kenapa gelombang sufi pengembara ini baru aktif sejak abad ke-13? Johns berhujah, tarekat sufi tidak menjadi ciri cukup dominan dalam perkembangan Dunia Muslim sampai jatuhnya Baghdad ke tangan laskar Mongol pada 656/1258. Mengutip Gibb, ia mencatat bahwa setelah kejatuhan kekhalifahan Baghdad, kaum sufi memainkan peran kian penting dalam memelihara keutuhan Dunia Muslim dengan menghadapi tantangan kecenderungan pengepungan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persia, dan Turki. Adalah pada masa-masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajin-an tangan (thawa’if), yang turut membentuk masayarakat urban.
Afiliasi ini memungkinkan para guru dan murid sufi memperoleh sarana pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat Dunia Muslim ke wilayah-wilayah periferi, membawa keimanan dan ajran Islam melintasi berbagai batas-batas bahasa dan, dengan demikian, mempercepat proses ekspansi Islam. Dengan latar belakang semacam inilah, maka sumber-sumber lokal yang disebut dan dikutip terdahulu memberi informasi tentang kedatang-an berbagai syaikh, sayyid, makhdum, guru dan semacamnya dari Timur Tengah atau tempat-tempat lain ke wilayah-wilayah mereka.
Teori “sufi” ini berhasil membuat korelasi antara peristiwa-peristiwa politik dan gelombang konversi kepada Islam. Meski peristiwa-peristiwa politik–dalam ini kekhalifahan Abbasiyah–merefleksikan hanya secara tidak langsung pertumbuhan massal masyarakat Muslim, orang tak dapat mengabai-kan mereka, karena semua itu mempengaruhi perjalanan masyarakat Muslim di bagian-bagian lain Dunia Muslim. Teori ini juga berhasil membuat korelasi penting antara kontroversi dengan pembentukan dan perkembangan institusi-institusi Islam yang menurut Bulliet, akhirnya membentuk dan menciptakan ciri khas masyarakat Muslim. Yang terpenting di antara institusi-institusi iini adalah madrasah, tarekat sufi, futuwwah (persatuan pemuda), dan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan. Semua institusi ini menjadi penting hanyalah sejak abad ke-11.
Periode konsolidasi yang diberikan Bulliet kelihatan sedikit lebih awal dibandingkan dengan yang dikemukakan Johns. Tetapi, riwayat lengkapnya dapat dijelaskan lebih baik dengan sekali lagi melihat kepada peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam abad-abad ini. Tidak ada persoalan, bahwa pada abad ke-11 Kekhalifahan Abbasiyah dengan cepat merosot. Kemerosotan kekuasaan politik ini khususnya mendorong munculnya lembaga-lembaga dan struktur-struktur monopolitik untuk mengisi kevakuman struktur dan ke-pemimpinan politik. Karena itu, menjelang abad ke-12 berbagai perkumpulan sosial, keagamaan dan ekonomi–seperti disebutkan tadi, muncul dan ber-kembang lebih cepat. Lebih jauh, adalah pada masa-masa ini atau menjelang akhir abad ke-12 padamnya konflik faksional endemik yang memecah belah golongan Sunni sejak abad ke-10. Konsekuensi perkembangan ini adalah kebangkitan ulama sebagai kelompok sosial khas, yang semakin sadar ter-hadap peran krusial mereka dalam memelihara dan memperluas ranah pengaruh Islam.
Situasi politik yang tak menguntungkan itu, lebih jauh lagi, mendorong banyak Muslim–termasuk ulama dan sufi–di wilayah-wilayah tertentu yang dikuasai langsung Dinsti Abbasiyah untuk berpindah khususnya ke wilayah-wilayah yang baru diislamkan. Menjelang akhir abad ke-11, bagian barat Baghdad, misalnya, kehilangan banyak penduduknya. Eksodus ini bahkan lebih mencolok di Persia. Dalam periode yang sama, Persia kehilangan banyak ulama Sunni. Inilah salah satu faktor utama yang mendorong pertumbuhan golongan Syi’ah di Persia. Sebaliknya, banyak ulama yang keluar dari Persia dapat ditemukan di banyak wilayah Dunia Muslim. Migrasi dalam jumlah besar ini turut mempercepat konversi orang-orang dalam jumlah besar kepada Islam di Anak Benua India, Eropa Timur dan Tenggara, dan Nusantara pada periode antara paruh kedua abad ke-10 dan akhir abad ke-13. Seluruh proses mempunyai andil terhadap kebangkitan yang oleh Hodgson disebut sebagai “internasionalisasi” (“universalisasi”) Islam Sunni.
Memandang dari perspektif lebih luas ini, orang akan lebih memahami proses konversi dan Islamisasi Nusantara. Jelas, terdapat sejumlah faktro yang berkaitan satu sama lain, yang mempengaruhi seluruh proses yang ada. Tetapi, terlepas dari komplekstitas proses konversi dan Islamisasi Nusantara itu, wilayah ini merupakan contoh yang cukup unik dari transformasi besar keagamaan antara mayoritas penduduknya.

1. Hubungan Awal Muslim Nusantara Dengan Timur Tengah
Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang, yang dapat dilacak sampai ke masa antiquity. Khususnya berkaitan dengan perdagangan, bermula bahkan sejak masa Phunisia dan Saba.
Pengenalan dan penyebaran Islam di pesisir pantai Anak Pantai Benua India terbukti merangsang tidak hanya hubungan dagang antar Timur Tengah dengan Nusantara, tetapi juga berbagai bentuk hubungan dan pertukaran keagamaan, sosial, politik, dan kebudayaan.

Dari Buku : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII
Pengarang : Azyumardi Azra.
Penerbit : Kencana Predana Media Group, Jakarta (cetakan ke 3, 2007/Edisi Revisi).
Halaman : 338.
read more “KEDATANGAN ISLAM DAN HUBUNGAN”

Followers

Cari Blog Ini