Kau lihat cerobong api itu menatap salju, melumatnya tanpa ampun… setiap tatapan menusuk rongga hati hingga mati, terkutuk mungkin. Terbelenggu dalam ragu, padahal alam berucap mesra ke arah senyum yang sebenarnya tiada kemudian seolah ia terdampar begitu saja dalam alam tangis yang ia cipta.
Siapa menabur duka? Siapa tak mengerti rasa? Tak ada, hanya rentetan takdir menabur luka, membiarkannya menganga oleh tiap hembusan nafas cedera.
Ah…kenapa siapa menyalahkan siapa kalau tak siapa yang salah karena apa? Percuma, menyelimuti rasa dengan kecewa. Jijik rasanya membiarkan cinta tercecer dan dimangsa oleh rana.
Duka, sepi, sunyi menyayat-nyayat langkah, ingin rasanya mati dalam rindu. Merindukan tawa setelah hampir lupa cara tertawa.
Hidup ini mengalir begitu saja. Hampa. Benar-benar tak terbaca. Mengharapkan cinta tapi merana, menunggu bahagia lukalah yang ada. Ah…mungkin hanya itu yang perlu dan pantas ditertawakan, tak ada yang lain. Semua hanyalah gambaran tangis, maka toleransi hanyalah cita-cita, kasih sayang di akhirat adanya, kaya hanya setelah kita tiada.
Benarkah kalian tak merasa bahwa itu lucu?
Takdir? Takdir apa? Takdirkah yang tak mampu mempertemukan dua orang yang mencinta? Takdirkah yang mengizinkan kaki si kaya di atas kepala si fakir? Membiarkan ketidak berdayaan dipertontonkan dimana-mana? Menghalangi sang perindu bertemu kekasihnya? Membiarkankan bibir si miskin kelu mengatakan kebenaran? HAH? Benarkah semua itu takdir.
Siapa menabur duka? Siapa tak mengerti rasa? Tak ada, hanya rentetan takdir menabur luka, membiarkannya menganga oleh tiap hembusan nafas cedera.
Ah…kenapa siapa menyalahkan siapa kalau tak siapa yang salah karena apa? Percuma, menyelimuti rasa dengan kecewa. Jijik rasanya membiarkan cinta tercecer dan dimangsa oleh rana.
Duka, sepi, sunyi menyayat-nyayat langkah, ingin rasanya mati dalam rindu. Merindukan tawa setelah hampir lupa cara tertawa.
Hidup ini mengalir begitu saja. Hampa. Benar-benar tak terbaca. Mengharapkan cinta tapi merana, menunggu bahagia lukalah yang ada. Ah…mungkin hanya itu yang perlu dan pantas ditertawakan, tak ada yang lain. Semua hanyalah gambaran tangis, maka toleransi hanyalah cita-cita, kasih sayang di akhirat adanya, kaya hanya setelah kita tiada.
Benarkah kalian tak merasa bahwa itu lucu?
Takdir? Takdir apa? Takdirkah yang tak mampu mempertemukan dua orang yang mencinta? Takdirkah yang mengizinkan kaki si kaya di atas kepala si fakir? Membiarkan ketidak berdayaan dipertontonkan dimana-mana? Menghalangi sang perindu bertemu kekasihnya? Membiarkankan bibir si miskin kelu mengatakan kebenaran? HAH? Benarkah semua itu takdir.
Comments :
0 komentar to “Benarkah”
Posting Komentar