A. Metode Mawdhu’i.
Metode tafsir mawdhu’iy juga disebut dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Quran. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir mawdhu’iy: pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang satu masalah tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama; kedua, penafsiran yang dilakukan berdasar surat al-Quran.[1]
Dalam penerapan metode ini, ada beberapa lamgkah yang harus ditempuh oleh mufassir. Antara lain sebagaiman diungkapkan oleh al-Farmawi berikut ini:
1. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya.
2. Menelusuri latar belakang turun ayat-ayat yang telah dihimpun.
3. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahn di dalam ayat itu.
4. Mengkaji pemahamn ayat-ayat itu dari pemahamn berbagai aliran dan pendapat para mufassir, baik yang klasik maupun yang kontemporer.
5. Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar.[2]
B. Ayat-ayat Ghadd al-Bashar dan Hifzh al-Farji.
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (Surat al-Nur (24): 30).[3]
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Surat al-Nur (24): 31).[4]
Dan perempuan-perempuan tua yang Telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana. (Surat al-Nur (24): 60).[5]
Penjelasan arti kosa kata
Menurut bahasa, al-Ghadd berarti mengurangi, menurunkan atau merendahkan, dan melakukan. Menurut al-Ustadz Abu al-‘Ala al-Mawdudy arti ungkapan Ghadd al-Bashar seperti yang terdapat dalam ayat ini adalah: agar tidak memandang sesuatu dengan leluasa sepenuh pandangan, dan menahan pandangan kepada sesuatu yang tidak halal dengan cara menundukkan pandangan ke bawah atau memalingkan kearah lain.
Kata-kata (من) di dalam kalimat (من أبصارهم) adalah li al-Tab’idh (التبعيض), artinya Allah tidak menyuruh memalingkan atau menahan seluruh pandangan, melainkan hanya nenyuruh memalingkan sebagiannya saja. Dengan kata lain, Allah tidak menginginkan agar kamu selalu memalingkan seluruh pandanganmu kepada sesuatu, tetapi Ia hanya menginginkan agar kamu menahan pandangan terhadap bagian atau daerah tertentu.
Di dalam hal perintah Allah agar laki-laki beriman menahan pandangan mereka, hal pertama yang menjadi perhatian adalah keberadaan huruf jar “من” yang menunjukkam arti “sebagian”, yang menyebabkan pengertian ayat menjadi “menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang haram dan hanya mengarahkan pandangan kepada yang halal atau yang dibolehkan.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa Allah tidak menyuruh laki-laki mukmin tersebut agar menahan atau memalingkan seluruh pandangan mereka secara total, melainkan hanya memalingkan sebagiannya saja. Sebab menahan pandangan secara terus menerus dan menalingkannya dari segala sesuatu berarti menafikan atau meniadakan pemanfaatan penglihatan sama sekali; dan anggapan bahwa Allah menghendaki hal yang demikian jelad tidak rasional. Akan tetapi, mengarahkan pandangan secara total kepada segala sesuatu juga akan menyebabkan seseorang terjerumus kepada berbagai bencana yang sumbernya bermula dari pandangan, yang merupakan pemangkit dari nafsu birahi, pemicu perbuatan zina, dan biang keladi berbagai perbuatan dosa.
Oleh kareba itulah Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, apakah itu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan maupun sebaliknya.
Di dalam sebuah hadis shahih riwayat Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah saw bersabda yang artinya: jnganlah kalian duduk-duduk di pinggir-pinggir jalan. Para sahabat bertanya : apakah kami harus selalu berbincang-bincang di majelis. Rasulullah menjawab: apabila kalian enggan, maka berikanlah kepada jalan haknya! Para sahabat bertanya: apakah gerangan hak jalan itu, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: hak jalan itu adalah menahan pandangan, menyingkirkan penyakit, menjawab salam, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Sementara di dalam perintah mengenai keharusan memelihara kemaluan (hifzal-farji), tidak terdapat huruf jar (من). Hal ini mengandung arti bahwa di dalam masalah pandangan tersebut terdapat semacam kelonggaran, Allah tidak bermaksud mempersempit wilayah penggunaannya kecuali sebatas yang diperlukan untuk Hifz al-Farji dan tidak meremehkannya.
Sebagaimana sudah diketahui pula bahwa laki-laki muhrim bagi seorang wanita tidak dilarang melihat rambut atau kepala wanita tersebut; begitu pula melihat budak-budak yang tengah bekerjauntuk kepentingan jual beli.
Pada waktu yang sama, tidak ada kelonggaran dan kebolehan untuk meremehkan dan mempermainkan soal Hifz al-Farji dalam bentuk dan cara apapun juga.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa daerah sasaran penggunaan pandangan itu terbatas pada apa yang dibolehkan oleh Allah SWT.
Bersamaan dengan perintah ghadd al-bashar, Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar memelihara kemaluan.
Pelaksanaan perintah Hifz al-Farj ini dapat dilakukan melalui dua cara:
Pertama, mencegahnya dari perbuatab zina, artinya agar laki-laki maupun perempuan menghindari perbuatan pemenuhan kegiatan biologis atau seksual dengan cara-cara yang diharamkan oleh Allah.
Kedua, memelihara dan menghindarkannya dari pandangan. Di sini termasuk pula usaha seseorang, laki-laki maupun perempuan untuk tidak membuka auratnya dihadapan orang lain.
Di sini Allah memerintahkan kepada laki-laki mukmin untuk melaksanakan dua hal. Pertama, perintah ghadd al-bashar; kedua hifz al-farj. Berkumpulnya dua sifat ini di dalam diri seorang pribadi membuat seseorang tersebut menjadi baik dan adil, yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Islam dan dibanggakan oleh umat.
Allah mendahulukan perintah ghadd al-bashar sebelum perintah hifz al-farj dikarenakan pandangan tersebut merupakan penyebab terjadinya zina dan berbagai perbuatan dosa lainnya; benih hawa nafsu itu adalah pandangan yang liar.[6]
Kesimpulan
Menurut bahasa, al-Ghadd berarti mengurangi, menurunkan atau merendahkan, dan melakukan. Menurut al-Ustadz Abu al-‘Ala al-Mawdudy arti ungkapan Ghadd al-Bashar seperti yang terdapat dalam ayat ini adalah: agar tidak memandang sesuatu dengan leluasa sepenuh pandangan, dan menahan pandangan kepada sesuatu yang tidak halal dengan cara menundukkan pandangan ke bawah atau memalingkan kearah lain.
Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan
1. Saran dan kritik
Sedikitnya referensi yang di gunakan dalam penyusunan makalah ini, dan banyaknya kekurangan yang di miliki oleh penulis, menyebabkan makalah ini penuh dengan kekurangan dan kesalahan.
Oleh karena itu, kepada dosen pengampu yang bersangkutan sudilah kiranya meluangkan waktu sejenak untuk memberikan saran, kritikan, dan masukan untuk perbaikan makalah ini. Sehingga penyusunan makalah pada masa yang akan datang akan menjadi lebih baik dan sempurna.
Daftar Pustaka
Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya,(Jakarta: Cahaya Qur’an,2006)
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Glagah UH,1998
[1] Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), 47.
[2] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Glagah UH,1998), 153
[3] Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya,(Jakarta: Cahaya Qur’an,2006), 353.
[4] Ibid, 31.
[5] Ibid, 358.
[6] Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 114.
read more “Metode Mawdhu’i.”
Metode tafsir mawdhu’iy juga disebut dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Quran. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir mawdhu’iy: pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang satu masalah tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama; kedua, penafsiran yang dilakukan berdasar surat al-Quran.[1]
Dalam penerapan metode ini, ada beberapa lamgkah yang harus ditempuh oleh mufassir. Antara lain sebagaiman diungkapkan oleh al-Farmawi berikut ini:
1. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya.
2. Menelusuri latar belakang turun ayat-ayat yang telah dihimpun.
3. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahn di dalam ayat itu.
4. Mengkaji pemahamn ayat-ayat itu dari pemahamn berbagai aliran dan pendapat para mufassir, baik yang klasik maupun yang kontemporer.
5. Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar.[2]
B. Ayat-ayat Ghadd al-Bashar dan Hifzh al-Farji.
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (Surat al-Nur (24): 30).[3]
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Surat al-Nur (24): 31).[4]
Dan perempuan-perempuan tua yang Telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana. (Surat al-Nur (24): 60).[5]
Penjelasan arti kosa kata
Menurut bahasa, al-Ghadd berarti mengurangi, menurunkan atau merendahkan, dan melakukan. Menurut al-Ustadz Abu al-‘Ala al-Mawdudy arti ungkapan Ghadd al-Bashar seperti yang terdapat dalam ayat ini adalah: agar tidak memandang sesuatu dengan leluasa sepenuh pandangan, dan menahan pandangan kepada sesuatu yang tidak halal dengan cara menundukkan pandangan ke bawah atau memalingkan kearah lain.
Kata-kata (من) di dalam kalimat (من أبصارهم) adalah li al-Tab’idh (التبعيض), artinya Allah tidak menyuruh memalingkan atau menahan seluruh pandangan, melainkan hanya nenyuruh memalingkan sebagiannya saja. Dengan kata lain, Allah tidak menginginkan agar kamu selalu memalingkan seluruh pandanganmu kepada sesuatu, tetapi Ia hanya menginginkan agar kamu menahan pandangan terhadap bagian atau daerah tertentu.
Di dalam hal perintah Allah agar laki-laki beriman menahan pandangan mereka, hal pertama yang menjadi perhatian adalah keberadaan huruf jar “من” yang menunjukkam arti “sebagian”, yang menyebabkan pengertian ayat menjadi “menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang haram dan hanya mengarahkan pandangan kepada yang halal atau yang dibolehkan.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa Allah tidak menyuruh laki-laki mukmin tersebut agar menahan atau memalingkan seluruh pandangan mereka secara total, melainkan hanya memalingkan sebagiannya saja. Sebab menahan pandangan secara terus menerus dan menalingkannya dari segala sesuatu berarti menafikan atau meniadakan pemanfaatan penglihatan sama sekali; dan anggapan bahwa Allah menghendaki hal yang demikian jelad tidak rasional. Akan tetapi, mengarahkan pandangan secara total kepada segala sesuatu juga akan menyebabkan seseorang terjerumus kepada berbagai bencana yang sumbernya bermula dari pandangan, yang merupakan pemangkit dari nafsu birahi, pemicu perbuatan zina, dan biang keladi berbagai perbuatan dosa.
Oleh kareba itulah Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, apakah itu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan maupun sebaliknya.
Di dalam sebuah hadis shahih riwayat Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah saw bersabda yang artinya: jnganlah kalian duduk-duduk di pinggir-pinggir jalan. Para sahabat bertanya : apakah kami harus selalu berbincang-bincang di majelis. Rasulullah menjawab: apabila kalian enggan, maka berikanlah kepada jalan haknya! Para sahabat bertanya: apakah gerangan hak jalan itu, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: hak jalan itu adalah menahan pandangan, menyingkirkan penyakit, menjawab salam, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Sementara di dalam perintah mengenai keharusan memelihara kemaluan (hifzal-farji), tidak terdapat huruf jar (من). Hal ini mengandung arti bahwa di dalam masalah pandangan tersebut terdapat semacam kelonggaran, Allah tidak bermaksud mempersempit wilayah penggunaannya kecuali sebatas yang diperlukan untuk Hifz al-Farji dan tidak meremehkannya.
Sebagaimana sudah diketahui pula bahwa laki-laki muhrim bagi seorang wanita tidak dilarang melihat rambut atau kepala wanita tersebut; begitu pula melihat budak-budak yang tengah bekerjauntuk kepentingan jual beli.
Pada waktu yang sama, tidak ada kelonggaran dan kebolehan untuk meremehkan dan mempermainkan soal Hifz al-Farji dalam bentuk dan cara apapun juga.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa daerah sasaran penggunaan pandangan itu terbatas pada apa yang dibolehkan oleh Allah SWT.
Bersamaan dengan perintah ghadd al-bashar, Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar memelihara kemaluan.
Pelaksanaan perintah Hifz al-Farj ini dapat dilakukan melalui dua cara:
Pertama, mencegahnya dari perbuatab zina, artinya agar laki-laki maupun perempuan menghindari perbuatan pemenuhan kegiatan biologis atau seksual dengan cara-cara yang diharamkan oleh Allah.
Kedua, memelihara dan menghindarkannya dari pandangan. Di sini termasuk pula usaha seseorang, laki-laki maupun perempuan untuk tidak membuka auratnya dihadapan orang lain.
Di sini Allah memerintahkan kepada laki-laki mukmin untuk melaksanakan dua hal. Pertama, perintah ghadd al-bashar; kedua hifz al-farj. Berkumpulnya dua sifat ini di dalam diri seorang pribadi membuat seseorang tersebut menjadi baik dan adil, yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Islam dan dibanggakan oleh umat.
Allah mendahulukan perintah ghadd al-bashar sebelum perintah hifz al-farj dikarenakan pandangan tersebut merupakan penyebab terjadinya zina dan berbagai perbuatan dosa lainnya; benih hawa nafsu itu adalah pandangan yang liar.[6]
Kesimpulan
Menurut bahasa, al-Ghadd berarti mengurangi, menurunkan atau merendahkan, dan melakukan. Menurut al-Ustadz Abu al-‘Ala al-Mawdudy arti ungkapan Ghadd al-Bashar seperti yang terdapat dalam ayat ini adalah: agar tidak memandang sesuatu dengan leluasa sepenuh pandangan, dan menahan pandangan kepada sesuatu yang tidak halal dengan cara menundukkan pandangan ke bawah atau memalingkan kearah lain.
Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan
1. Saran dan kritik
Sedikitnya referensi yang di gunakan dalam penyusunan makalah ini, dan banyaknya kekurangan yang di miliki oleh penulis, menyebabkan makalah ini penuh dengan kekurangan dan kesalahan.
Oleh karena itu, kepada dosen pengampu yang bersangkutan sudilah kiranya meluangkan waktu sejenak untuk memberikan saran, kritikan, dan masukan untuk perbaikan makalah ini. Sehingga penyusunan makalah pada masa yang akan datang akan menjadi lebih baik dan sempurna.
Daftar Pustaka
Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya,(Jakarta: Cahaya Qur’an,2006)
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Glagah UH,1998
[1] Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), 47.
[2] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Glagah UH,1998), 153
[3] Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya,(Jakarta: Cahaya Qur’an,2006), 353.
[4] Ibid, 31.
[5] Ibid, 358.
[6] Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 114.