Biarkan Aku Menyapa

Assalamu'Alaikum.......
Hai... salam kenalku selalu padamu shobat.
Bertamasyalah, karena dengan begitu anda akan selalu merasakan kesegaran dalam kata, pikir, jiwa, dan raga. Bila anak panah tetap berada bersama busur, ia takkan membunuh seekor kijang pun. Mataharipun akan nampak begitu membosankan bila ia tetap berada di Timur, meski selalu tersenyum. Bahkan air akan mengeluarkan bau tak sedap karena bila ia enggan mengalir. Oleh karenanya, ungkapkanlah apapun yang ada dalam otak anda.Keputusan akan melemahkan pandangan dan menutup pendengaran. Kita tidak dapat melihat kecuali bayang-bayang kehampaan, dan tidak bisa mendengar kecuali detak jantung yang kosong.

Jumat, 19 Juni 2009

Jihad dalam Alqur'an

“JIHAD ataukah AMAR MA’RUF?”

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan Ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. al-Taubah [9]; 123).


Jihad;
Secara tekstual, ayat tersebut bisa dipahami sebagai legitimasi untuk berbuat kekerasan terhadap orang-orang non-muslim. Akan tetapi, secara kontekstual tidaklah demikian. Agar memperoleh pemahaman yang tidak bersifat sepihak, tentunya juga merujuk pada ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang masalah (etika) peperangan (jihad). Antara lain, Firman Allah SWT, Q.S. al-Baqarah [2] 190-195:

Dari keenam ayat tersebut, dapat difahami adanya hal-hal yang harus diperhatikan dalam memerangi orang-orang kafir (jihad), antara lain:
 Tujuan; membela (menegakkan) agama Allah.
 Lawan; orang-orang (kafir) yang memerangi umat Islam atau mengusir kaum Muslimin dari negeri mereka.
 Aturan; tidak melewati batas.
 Gencatan senjata; yang datangnya dari orang-orang (kafir).
 Perdamaian; kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.
 Waktu; selain bulan-bulan tertentu yang dilarang berperang bagi umat Islam, kecuali membalas serangan orang-orang kafir.
 Tempat; selain Masjid al-Haram, kecuali membalas serangan mereka (orang-orang kafir).
 Praktek; berperang dengan (alat-alat dan strategi perang) yang memadai.
 Seruan; penggalangan dana perang.
 Perintah; bertaqwa dan berbuat baik (dalam kondisi peperangan).
 Larangan; melakukan serangan bunuh diri (kamikaze).

Amar Ma’ruf;
Dari pendekatan bahasa (linguistic), Amar Ma’ruf-Nahi Munkar secara sederhana, bisa diartikan dengan ‘memerintahkan kebaikan dan mencegah keburukan’ atau ‘memerintahkan dengan (cara) yang baik dan mencegah dari (hal-hal) yang buruk’, dengan tujuan yang baik pula.
Firman Allah SWT,
  •             
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.

Setidaknya ada dua hal yang harus digaris bawahi.
Pertama; bahwasanya menyuruh kepada yang ma’ruf atau perintah berbuat baik lebih cenderung dengan menggunakan seruan-seruan verbal (bi al-lisan). Sedangkan mencegah dari yang munkar bukan berarti menghilangkan kemunkaran dengan perusakan. Kedua; Amar-Ma’ruf dan Nahi-Munkar memiliki tingkatan-tingkatan (level). Hal ini sebagaimana tersurat secara eksplisit dalam sabda baginda Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.
Dari Abi sa’id al-Khudzri; Aku mendengar Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Barang siapa yang melihat diantara kalian kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan hal itu selemah-lemah iman”.

Konsep Al-Ghazaly;
“Bahwasanya Amar Ma’ruf-Nahi Munkar itu wajib, dan sesungguhnya kewajiban akan hal itu belumlah gugur beserta adanya kemampuan kecuali ada salah seorang yang melakukannya”

Amar Ma’ruf-Nahi Munkar mempunyai 4 rukun, yaitu: penyeru, orang yang diseru, perbuatan yang diseru, dan seruan itu sendiri. Adapun si penyeru, syaratnya harus seorang muslim, mukallaf, dan mampu. Termasuk di dalamnya perseorangan, orang yang fasiq, dan perempuan. Sekalipun mereka tidak mendapatkan izin. Syarat kedua adalah Islam, karena ia membela Islam.
Adab orang yang menyeru; hendaklah ia seorang alim dan berakhlak baik, bersikap lemah lembut, dan tidak bersikap keras. Adapun ilmu, maka hendaklah ia mengetahui batas-batas teguran dan wara’ supaya ia membatasi pada batas yang dibenarkan.
Dalam pembahasan ini, perlu diketahui bahwasanya amar ma’ruf-nahi munkar (al-hisbah) memiliki 5 tingkatan (level). Pertama, pemberitahuan (al-ta’rif). Kedua, memberi nasehat (al-wa’zhu) dengan perkataan yang lemah lembut. Ketiga, mengecam atau mencela (al-sabb wa al-ta’nif). Keempat, mencegah dengan paksaan (al-man’u bi al-qahri) dengan tindakan fisik pada sarana kemunkaran. Dan kelima, memberikan ancaman (al-takhwif wa al-tahdid) dengan tindakan fisik pada pelaku kemunkaran, sehingga ia tidak melakukan kemunkaran tersebut.
Perlu juga diingat dalam amar ma’ruf-nahi munkar terdapat kondisi-kondisi penyeru amar ma’ruf-nahi munkar (al-muhtasib) yang sama hukumnya. Pertama, si penyeru mengetahui bahwasanya ucapannya tidaklah berpengaruh apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan perlawanan fisik jika menyeru dengan perkataan. Maka ia tidak wajib melakukan amar ma’ruf. Kedua, si penyeru tahu bahwasanya kemunkaran itu bisa lenyap dengan sebab seruannya atau tindakan fisik darinya, akan tetapi ia merasa tidak mampu karena khawatir akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Maka ia wajib inkar dalam hati. Ketiga, si penyeru tahu bahwa seruan atau pun tindakannya tidak akan memberi pengaruh apa-apa, ia pun tidak khawatir akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Maka ia tidak wajib melakukan amar ma’ruf, karena tidak ada gunanya. Akan tetapi masih dianjurkan untuk melakukan amar ma’ruf dalam rangka menampakkan syi’ar agama dan mengingatkan orang-orang dengan perintah agama. Keempat, si penyeru tahu bahwa ia akan mendapatkan perlakuan tidak baik secara fisik, akan tetapi kemunkaran akan lenyap dengan tindakannya. Maka baginya tidak wajib, dan tidak haram melakukan amar ma’ruf. Hanya saja hal itu masih tetap dianjurkan.
Ditinjau dari sisi kemunkaran itu sendiri, maka dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok; pertama, kemunkaran yang sangat kuat dan sudah mencapai titik kulminatif. Maka akan diberlakukan had, atau ta’zir. Dan yang berhak memberikan hukuman dalam hal ini adalah pemerintah, bukan tiap individu. Kedua, kemunkaran yang bersifat terus menerus (continou) ada pada pelaku, maka menghilangkan kemungkaran semacam ini wajib dengan cara apa saja yang mungkin dilakukan, selama tidak akan menimbulkan adanya kemaksiatan yang sama atau lebih parah. Ketiga, kemunkaran yang masih bersifat asumtif. Maka baik bagi personal ataupun yang mempunyai otoritas kekuasaan hanya boleh melakukan nasehat ataupun teguran saja.

Kepedulian Sosial;
Baik Jihad ataupun Amar Ma’ruf–Nahi Munkar, hendaknya tidak mengabaikan akibat yang ditimbul-kan, terutama sisi kemanusiaan (humanis) dalam bentuk kepedulian sosial. Secara sederhana, sosial bisa diartikan dengan kebersamaan dalam masyarakat atau kemasyarakatan. Prinsip-prinsip dalam interaksi sosial adalah sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah SWT, Q.S. al-Hujurat [49] 11-13: yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjing-kan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Prinsip-prinsip kepedulian sosial tersebut akan terealisasi dengan optimal seiring usaha manusiawi. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an, Surat al-Ra’du [13]: 11: yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Kepedulian sosial bukan hanya terbatas pada umat Islam, akan tetapi terhadap siapa saja yang berada di sekitar kaum muslimin dengan kriteria-kriteria yang disebutkan dalam firman Allah SWT, Q.S al-Mumtahanah [60] 8-9, yang artinya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berbuat baik terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Perbedaan yang menjadi realitas sosial tentunya tidak dapat dihindari. Menyikapi hal ini perlu ditumbuhkembangkan sikap toleransi (tasamuh) yang dapat dipahami dari firman Allah SWT, Q.S. al-Baqarah [2]: 139, yang artinya: “Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal DIA adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu, dan Hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati”.
Sikap toleran tersebut terbatas pada urasan-urusan sosial, sedangkan dalam hal keyakinan (aqidah), ada garis yang jelas yang senantiasa tidak boleh diabaikan. Sebagaimana secara eksplisit tercantum dalam firman-NYA pada surat ke 109 ayat 1-6, yang artinya: “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."


Dilematika Amrozi dkk;
Memilih dua pilihan yang sulit ibarat berada di persimpangan jalan, karena tidak mungkin memilih keduanya, maka salah satu mesti menjadi pilihan. Dari satu sisi dan pihak tertentu, tragedi Bom Bali adalah perbuatan ‘mulia’, dipahami sebagai bentuk jihad, dan akan mendapatkan balasan kebaikan berlipat ganda menurut para pelakunya. Sedangkan dari aspek lain, kejadian tersebut merupakan perbuatan yang sangat tidak terpuji dan dikecam secara habis-habisan plus penyematan nama ‘teroris’. Yang pasti, apa yang dilakukan Imam Samudera dkk merugikan banyak pihak.
Menyikapi hal dilematis, tidak ada salahnya jika memperhatikan permasalahan seperti itu dari perspektif fiqh yang tentunya tidak boleh luput dari qaidah-qaidah fiqhiyah-nya. Antara lain:
Apabila dua kerusakan saling berbenturan, maka dijaga yang lebih besar kemudlaratan dari keduanya dengan melakukan yang lebih ringan dari keduanya. Senada dengan qaidah tersebut, qaidah yang berbunyi: Menolak kerusakan didahulukan dari pada menarik kemaslahatan. Dan jika kontradiktif antara mafsadat dan mashlahat, maka didahulukan menolak kerusakan (mafsadat) pada umumnya. Karena perhatian Syari’ terhadap larangan-larangan lebih kuat dari pada perhatian Syari’ terhadap perintah-perintah. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW bersabda: “Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara, maka kerjakanlah perintah itu dengan semampumu, dan jia aku melarang dari sesuatu, maka jauhilah hal itu”.



Comments :

0 komentar to “Jihad dalam Alqur'an”


Posting Komentar