Biarkan Aku Menyapa

Assalamu'Alaikum.......
Hai... salam kenalku selalu padamu shobat.
Bertamasyalah, karena dengan begitu anda akan selalu merasakan kesegaran dalam kata, pikir, jiwa, dan raga. Bila anak panah tetap berada bersama busur, ia takkan membunuh seekor kijang pun. Mataharipun akan nampak begitu membosankan bila ia tetap berada di Timur, meski selalu tersenyum. Bahkan air akan mengeluarkan bau tak sedap karena bila ia enggan mengalir. Oleh karenanya, ungkapkanlah apapun yang ada dalam otak anda.Keputusan akan melemahkan pandangan dan menutup pendengaran. Kita tidak dapat melihat kecuali bayang-bayang kehampaan, dan tidak bisa mendengar kecuali detak jantung yang kosong.

Jumat, 26 Juni 2009

KAIDAH-KAIDAH JAWAB DAN SYARAT

KAIDAH TANYA JAWAB DAN DLAMAIR

A. Kaidah Tanya-Jawab
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang di kehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya di tanyakan. Jawaban seperti ini di sebut uslub al-hakim. Sebagai contoh firman Allah: يسألونك عن الاهلة هي مواقيت للناس والحج. Mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang di berikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting di tanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu.
Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang di tanyakan, karena hal itu di anggap perlu. Misalanya ayat: قل الله ينجيكم منها و من كل كرب, sebagai jawaban bagi pertanyaan: من ينجيكم من ظلمات البروالبحر. Terkadang juga lebih sempit dari pertanyaan karena keadaan menghendaki demikian, seperti ayat: قل ما يكون لي أن أبدله من تلقاء نفسي, sebagai jawaban bagi ائت بقرأن غير هذا أوبدله, hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada men ciptakn. Jika mengganti saja tidak mampu tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.
Kata “su’al” bila di pakai untuk meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ber-muta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung dan terkadang dengan menggunakan kata bantu “’an” (عن). Misalnya: ويسألونك عن الروح. Dan bila di pergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang serupa, ia muta’addi kepad maf’ul kedua secara langsung atau dengan kata bantu “min” (من), namun cara yang pertama lebih banyak berlaku. Misalanya: واسألوا ما أنفقتم , dan واسألوا الله من فضله.

B. Kaidah Dhomair
Dhamir mempunyai kaidah-kaidah kebahasaan tersendiri yang disimpul-kan oleh para ahli bahasa dari Al-Quran al-Karim, sumber-sumber asli bahasa Arab, hadits nabawi dan dari perkataan orang-oarang Arab yang kata-katanya dapat di jadikan pedoman (hujjah), baik yang berupa puisi (nazham). Ibn al-Anbari telah menyusun sebuah kitab terdiri 12 jilid yang khusus membahas dhamir-dhamir yang terdapat dalam Al-Quran.
Pada dasarnya, dlamir di letakkan untuk mempersingkat perkataan; ia berfungsi untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Sebagai contoh, dlamir “hum” pada ayat: أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما telah menggantikan dua puluh kata, jika kata-kata yang terdapat pada permulaan ayat:
ان المسلمين و المسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقنتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصئمين والصئمات والحافظين فروجهم والحفظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرت أعد الله لهم مغفرة وأجرا. (الأحزاب: 35).
Setiap dlamir ghaib (kata ganti orang pertama) memerlukan tempat kembali atau penjelas, yaitu kata-kata yang digantikannya, dan menurut kaidah bahasa tempat kembali itu harus mendahuluinya. Ahli nahwu memberikan alasan bagi ketentuan ini, bahwa dlamir mutakallim (orang pertama) dan dlamir mukhatab (orang kedua) telah dapat diketahui maksudnya secara jelas melalui keadaan yang melingkupinya, tidak demikian halnya dengan dlamir ghaib. Karena itu menurut kaidah ini tempat kembali dlamir tersebut harus mendahuluinya agar suapaya apa yang di maksud dengannya dapat di ketahui lebih dahulu. Itulah sebabnya para ahli nahwu menetapkan, “dlamir ghaib tidak boleh kembali kepada lafazh yang terkemudian dalam pengucapan dan kedudukannya”.
Dari kaidah ini di kecualikan beberapa hal yang didalamnya dlamir kembali kepada tempat kembali yang tidak disebutkan karena apa yang dimaksudnya telah ditunjukkan oleh sebuah qarinah (indikasi) yang ada pada lafazh yang mendahuluinya atau oleh keadaan lain yang melingkupi suasana pembicaraan.
Ibn Malik dalam kitabnya al-Tashil menyatakan, “kaidah menetapkan, tempat kembali (marji’) dlamir ghaib itu harus didahulukan. Marji’ ialah lafazh yang terdekat dengannya kecuali bila ada dalil yang menunujukkan lain. Terkadang marji’ itu dijelaskan lafaznya dan terkadang pula tidak dijelaskan karena adanya indikator, baik yang inderawi maupun yang diketahui melalui penalaran (‘ilmi), yang menunujuk kepada dlamir, atau karena telah disebutkan-nya sesuatu yang merupakan bagian marji’, keseluruhannya, imbangannya atau menyertainya, dalam bentuk apapun jua”.
Dengan demikian, marji’ damir ghaib adalah lafazh yang telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai dengannya. Inilah yang banyak dan umum, seperti dalam firman-Nya: وناد نوح نابنه. Atau yang mendahuluinya itu mengandung apa yang di maksud oleh damir, seperti dalam firman-Nya:
يأيهاالذين أمنوا كونوا قوامين للله شهداء بالقسط ولايجرمنكم شنأن قوم على ألاتعدلوا اعدلوا هوأقرب للتقوى. (المائدة: [5]: 8)

Damir “huwa” disini kembali kepada keadilan, al-‘adlu yang terkandung dalam lafazh I’dilu. Jadi arti selengkapnya, keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan. Atau lafazh yang mendahuluinya itu menunujuk kepada damit berdasarkan kelaziman, keniscayaan (iltizam) seperti:فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعرف وأداء اليه بإحسن. Dlamir pada kata “ilaihi” kembali kepada lafazh al-‘afi (orang-orang yang memaafkan) yang harus ada karena adanya lafazh “’ufiya“ (dimaafkan).
Marji’ damir kadang-kadang terletak sesudah dlamir itu sendiri, namun hal ini hanya pengucapannya, tidak dalam kedudukan (jabatan kata)-nya, seperti dalam: فأوجس في نفسه خيفة موسى. Tetapi ada juga yang terletak kemudian dalam pengucapan maupaun kedudukannya sebagaimana terdapat pada dlamir sya’n, dlamir qissah, ni’ma dan bi’sa. Misalnya firman Allah: ayat قل هوالله أحد, فإذا هي شاخصة, بئس للظالمين بدلا, dan سأء مثلا الحلقوم. Selain itu ada pula lafazh yang datang sesudah dlamir menunjukkan marji’ dlamir itu, seperti pada firman-Nya:فلولا اذابلغت الحلقوم. Dlamir rafa’ yang tersimpan disini ditunjukkan oleh lafazh “al-hulqum”, yang jika dinyatakan dengan lengkap akan berbunyi: فلولا اذابلغت الروح الحلقوم .
Marji’ adakalanya dapat dipahami dari konteks kalimat, seperti pada: كل من عليها فان, maksud lafazh “’alaiha” ialah على الارض “alal ardli”, انا أنزلناه في ليلة القدر, yakni “an-zalna al-Quran” عبس وتولى, yakni “Nabi s.a.w”, dan أم يقولون افتراه, dlamir “wawu” pada lafazh “yaqulun” kembali kepada “orang-orang musyrik” dan dlamir fa’il lafazh “iiftara” kembali kepada “Nabi”, sedang dlamir marfu’nya kepada “al-Quran”.
Damir terkadang kembali kepada lafazh, bukan kepada makna, seperti dalam firman-Nya: وما يعمر من معمر ولا ينقص من عمره الا في كتاب, dlamir pada “umrihi” kembali kepada lafazh “mu’ammar” namun yang di maksud adalah “muammar” yang lain. Berkata al-Farra’: yang dimaksud ialah mu’ammar yang lain, bukan mu’ammar yang pertama, tetapi ia di-kinayah-kan dengan dlamir seakan-akan adalah mu’ammar yang pertama. Hal ini karena lafazh itu adalah di tampakkan maka sama persis dengan lafazh pertama, sehingga akan berbunyi “wala yunqasu min ‘umuri mu’ammar”, jadi jelaslah bahwa damir pada “min umurihi” kembali kepada lafazh “mu’ammar” yang lain, bukan muammar pertama. Ini tidak ubahnya dengan perkataan “’indi dzirhamun wa nishfuhu” (aku mempunyai satu dirham dan separuhnya), maksudnya separuh dirham yang lain.
Dlamir terkadang kembali kepada makna saja, seperti pada ayat:
يستفتونك قل الله يفتيكم في كلالة ان امرؤ هلك ليس له ولد وله أخت فلها نصف ما ترك وهو يرثها ان لم يكن لها ولد فإن كانتا اثنتين فلهما الثلثان
Dlamir pada “kanata” tidak didahului oleh lafazh tasniyah sebagai marji’nya, hal itu karena kata “kalalah” dapat dipakai untuk mufrad, tasniyah atau jama’. Jadi pen-tatsniyah-an dlamir yang kembali kepada kalalah itu didasarkan pada maknanya. Juga seperti: وأتوا النساء صدقاتهن نحلة فإن طبن لكم عن شئ منه نفسا. Dlamir pada kata “minhu” kembali kepada makna “as-shaduqat” sebab lafazh ini semakna dengan “as-shidaq” atau “ma ushdiqa” (sesuatu yang dijadikan mahar). Ayat ini seakan-akan berbunyi: وأتوالنساء صداقهن أوما أصدقتموهن (berikanlah mahar kepada para wanita atau apa yang kamu jadikan sebagai mahar bagi mereka).
Terkadang dlamir itu disebutkan terlebih dahulu dan kemudian diberi predikat (khabar) dengan lafazh yang menjelaskannya, seperti: ان هي الا حياتنا الدنيا. Juga terkadang ia di-tatsniyah-kan padahal ia kembali kepada salah satu dari dua hal yang telah di sebutkan, misalnya: يخرج منهما اللؤلؤ والمرجان. Mutiara dan marjan keluar dari salah satu dua laut, yaitu laut yang asin, bukan laut yang tawar. Keluarnya mutiara dan marjan dari salah satu dua laut ini dipandang keluar dari keduanya. Inilah pendapat az-Zajaj dan yang lain.
Dlamir terkadang juga kembali kepada sesuatu yang ada hubungan erat dengannya, seperti pada ayat: لم يلبسوا الا عشية أو ضهاها. Yang dimaksud dengan dlamir “ha” pada lafazh “dluhaha” ialah “dluha yaumiha” (waktu duha hari itu), bukan “dluha al-‘asyiyah” (waktu duha sore itu), karena waktu sore tidak mempunyai waktu dluha.
Selain itu, dalam penggunaan dlamir mula-mula yang di perhatikan adalah segi lafazh, namun kenudian segi maknalah yang di perhatikan. Ini seperti terlihat pada: ومن الناس من يقول أمنا بالله وباليوم الاخر وما هم بمؤمنين. Dlamir pada “yaqulu” di-mufrad-kan berdasarkan pada lafazh “man”, kemudian pada lafaz “wa ma hum” di jamakkan di dasarkan pada maknanya.


BAB IV
KAIDAH MUHKAM DAN MUTASYABIH

A. Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Umum
Menurut bahasa muhkam berasal dari kata-kata: حكمت الدبة وأحكمت yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah zhalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dengan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan.
Dikatakan: حكمت السفيه وأحكمته artinya saya memegang kedua tangan orang dungu. Juga dikatakan: حكمت الدبة وأحكمتها, artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang di pasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi unttuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti me-ngokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang separti itu sifatnya.
Dengan pengertian inilah Allah mennyifati al-Qur’an bahwa seluruh-nya adalah muhkam sebagimana di tegaskan dalam firman-Nya:
الر، كتاب أحكمت أياته ثم فصلت من لدن حكيم خبي.
“Alif Lam Ra’. (inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya di-muhkam-kan, dikokohkan serta di jelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi (Allah) yang maha bijaksana lagi maha tahu”.
الر، تلك أيات الكتاب الحكيم.
“Alif lam Ra’. Inilah ayat-ayat Al-Quram yang mengandung hikmah”.
“Al-Quran seluruhnya muhkam”, maksudnya Al-Quran kata-katanya kokoh, fasih dan membedakan antara yang hak dengan yang batil dan antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-Hikam al-‘amm atau muhkam dalam arti umum.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat di bedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman: وأتوا به متشابها. Maksudnya, sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamssil dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Quran bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagimana ditegaskan dalam ayat: الله نزل أحسن الحديث كتابا متشابها مثاني. dengan demikian, maka Al-Quran itu seluruhnya mutasyabih, maksudnya Al-Quran itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.

B. Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Khusus
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus , sebagimana disinyalir dalam firman Allah:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله الا الله والراسخون في العلم يقولون أمنا به من عند ربنا ... الأية
“Dialah yang menuurunkan al-Kitab kepadamu. Di antara isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan ayat-ayat mutasyabihat. Adapaun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadnya untuk menimbulakan fitnah da untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui trakwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabiahat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
1). Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasya-bih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah SWT sendiri.
2). Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.
3). Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Para Ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman), kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang Asma’ Allah SWT dan sifat-sifat-Nya, antara lain:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى.
“Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Rahman) bersemayam di atas ‘Arsy”.
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ.
“Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya”.
وَجَآءَ رَبُّكَ.
“Dan datanglah Tuhanmu”.
فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ الله.
“Maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu”.

C. Perbedaan Pendapat tentang Kemungkinan Mengetahui Mutasyabih
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertia muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkin-an maksud ayat yang mutasyabih pun tidak dapat dihindari. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat: والراسخون في العلم. apakah kedudukan lafazh ini sebagai mubtada’ yang khabarnya adalah يقولون dengan “wawu” diperlukan sebagai huruf isti’naf dan waqaf di lakukan pada lafaz وما يعلم تأويله الا الله ataukan ia ma’tuf, sedang lafaz يقولون menjadi hal dan waqafnya pada lafaz والراسخون في العلم
Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Kaab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabiin dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain, dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadraknya bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca:
وما يعلم تأويله الا الله والراسخون في العلم يقولون أمنا به
Pendapat kedua (yang menyatakan “wawu” sebagai huruf ‘athaf) dipilih oleh sebagian ulama yang dipelopori oleh Mujahid, ia berkata: saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari Fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirnya.



D. Kompromi Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil
Dengan merujuk kepada makna takwil maka akan jelaslah bahwa antara dua pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhkhirin.
2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pem-bicaraan untuk menafsiirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat di pahami.
3. Takwil adalah hakikat yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka, takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang dzat dan sifat-sifatnya ialah hakikat zat-Nya itu sendiri yang Qudus dan hakikat sifat-sifatnya-Nya.
Golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafaz وما يعلم تأويله الا الله dan menjadikan والراسخون في العلم sebagai isti’naf mengatakan, “takwil” dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari suatu perkataan. Sebaliknya, golongan yang mengatakan “waqaf” pada lafaz والراسخون في العلم dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf ‘athaf bukan isti’naf, mengartikan kata takwil tersebut dengan arti kedua, yaitu tafsir, sebagaimana dikemukakan Mujahid, seorang tokoh tafsir terkemuka.


BAB III
PENUTUP

Dari uraian yang lebar panjang, maka bisa kita simpulkan sebagai berikut. Penggunaan isim nakirah mempunyai beberapa fungsi seperti yang sudah dijelaskan diatas. Selanjutnya penggunaan dlamir didalam Al-Qur’an pada dasar-nya untuk mempersingkat suatu perkataan tanpa merubah makna yang dimaksud-kan. Begitu juga penggunaan dhamir mula-mula harus diperhatikan adalah segi lafazh dan selanjutnya dari segi maknanya. Suatu jawaban sudah semestinya harus sesuai dengan apa yang di pertanyakan, tetapi kadang-kadang didalam Al-Quran terjadi juga apa yang namanya jawaban bisa menjadi sebuah pertanyaan.
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Hal ini telah di buktikan oleh AllahSWT sendiri dalam sebuah firman-Nya. Dalam menyikapi ini para ulama berbeda pendapat dalam mengomentari ayat tersebut, namun kedua pendapat tersebut bila diteliti serbenarnya tidak terjadi pertentangan hanya berbeda dalam memaknai makna dari takwil itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramain.
Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, (Beirut, Daar el-Fikr, 2005).
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Alquran, (Kairo, Dar al-Turats, cet ke-3, 1984).
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Q-ur’an, Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Q-ur’an, (Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973).

Comments :

0 komentar to “KAIDAH-KAIDAH JAWAB DAN SYARAT”


Posting Komentar