Biarkan Aku Menyapa

Assalamu'Alaikum.......
Hai... salam kenalku selalu padamu shobat.
Bertamasyalah, karena dengan begitu anda akan selalu merasakan kesegaran dalam kata, pikir, jiwa, dan raga. Bila anak panah tetap berada bersama busur, ia takkan membunuh seekor kijang pun. Mataharipun akan nampak begitu membosankan bila ia tetap berada di Timur, meski selalu tersenyum. Bahkan air akan mengeluarkan bau tak sedap karena bila ia enggan mengalir. Oleh karenanya, ungkapkanlah apapun yang ada dalam otak anda.Keputusan akan melemahkan pandangan dan menutup pendengaran. Kita tidak dapat melihat kecuali bayang-bayang kehampaan, dan tidak bisa mendengar kecuali detak jantung yang kosong.

Jumat, 19 Juni 2009

KEDATANGAN ISLAM DAN HUBUNGAN

Sejarah pertumbuhan jaringan antara penuntut ilmu dari Nusantara antara dengan banyak ulama Timur Tengah khususnya Haramayn, melibatkan proses-proses historis yang sangat kompleks. Proses dan alur histories yang terjadi dalam perjalanan Islam di Nusantara dalam hubungannya dengan perkembangan Islam di Timur Tengah, bisa dilacak sejak masa-masa awal kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara sampai kurun waktu yang demikian panjang. Yaitu sejak terjadinya interaksi kaum Timur Tengah dengan Nusantara sampai akhir abad ke-18. Terdapat pula perubahan-perubahan penting berbentuk interaksi yang terjadi. Berawal dari bentuk hubungan ekonomi Melayu-Indonesia dan dagang, disusul hubungan politik keagamaan, dan untuk selanjutnya diikuti hubungan intelektual keagamaan.
Teori-teori Kedatangan Islam
Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal-muasal Islam di Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel. Dia mengaitkan asal-muasal Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermadzhab syafi'i yang berimigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak benua India, Muslim Deccan-banyak di antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara-datang ke Dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab-kebanyakan keturunan Nabi Muhammad saw. karena menggunakan gelar sayyid atau syarif-yang me-nyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Snouck Hurgronje tidak menyebut secara ekplisit dari wilayah mana di India Selatan yang ia pandang sebagai asal Islam di Nusantara. Tetapi ia menyebut abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara.
Salah satu teori teori tersebut ada yang mengatakan bahwa asal-muasal Islam di Nusantara adalah anak benua India, bukan Persia atau Arabia. Dikaitkan dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Orang-orang Arab bermazhab Syafi’i Melayu-Indonesia yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera, khususnya yang bertanggal 17 Dzu Al-Hijjah 831 H./27 September 1428 M. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Mawlana malik Ibrahim (w.822/1419) di Gresik, Jawa Timur, ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal, tetapi juga unutk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan meng-impor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.
Kesimpulan-kesimpulan Moquette ini ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Malik Al-Shalih dengan batu nisan di Gujarat. Menurut penelitian-nya, bentuk dan gaya batu nisan Malik Al-Shalih berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah didatangkan dari daerah ini. Ini menjadi alas an utamanya untuk me-nyimpulkan, bahwa asal Islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan "teori batu nisan" ini, Fatimi mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475/1082) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.
Teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal tentu saja bisa dipersoalkan lebih lanjut termasuk, misalnya, berkenaan dengan adanya per-bedaan madzhab yang dianut kaum Muslim Nusantara (Syafi'i) dan madzhab yang dipegang kaum Muslim Bengal (Hanafi). Tetapi, terlepas dari masalah ini, teori Fatimi yang dikemukakannya dengan begitu bersemangat gagal meruntuhkan teori Moquette, karena sejumlah sarjana lain telah mengambil-alih kesimpulannya; dan yang paling terkenal di antara mereka ini adalah Kern, Winsted, Bousquet, Vleke, Gonda, Schrike, dan Hall. Sebagian mereka memberikan kesimpulan Moquette. Wintedt, misalnya, mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perlak, Semenanjung Malaya. Ia berhujah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor dari sana. Ia juga mencatat, Sejarah Melayu mengandung beberapa bukti yang membenarkan hal ini; antara lain disebutkan kebiasaan di beberapa wilayah di Nusantara mengimpor batu nisan dari Gujarat. Schrieke juga menyokong teori ini dengan menekankan signifikansi peran penting yang dimainkan para pedagang Muslim Gujarat dalam perdagangan di Nusantra dan kemungkinan andil besar mereka dalam penyebaran Islam.
Teori tentang Gujara sebagai tempat asal Islam di Nusantara terbukti mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu. Ini dibuktikan, misalnya oleh Marrison. Ia berargumen, meski batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat–atau berasal dari Bengal, seperti dikemukakan Fatimi–itu tidak lantas berarti Islam juga didatangkan dari sana. Marrison mematahkan teori ini dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudera-Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699/1298), Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasa-an Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik Al-Shalih, tegasnya sebelum 698/1297. Marrison selanjutnya mencatat, meski laskar Muslim menyerang Gujarat beberapa kali, masing-masing 415/1024, 574/1178 dan 595/1197, raja Hindu di sana mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 698/1279. Memperhingkan semua ini, Marrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang dipegang Arnold. Menulis jauh sebelum Marrison, Arnold berpendapat bahwa Islam di bawa ke Nusantara antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjuk kepada persamaan madzhab fikih di antara kedua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah pengikut madzhab Syafi’i, yang juga cukup dominan di wilayah Coromandel dan Malabar, seperti disaksikan oleh para ‘Ibn Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan ini. Menurut Arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini mendatangi pelabuh-an-pelabuhan dagang dunia Melayu-Indonesia di mana mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam perdagangan.
Tetapi penting dicatat, menurut Arnold, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga di Arabia. Dalam pandangannya, para pedagan Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijri atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, cukup pantas mengasumsi-kan bahwa mereka terllibat pula dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi ini menjadi lebih mungkin, kalau orang, misalnya, mempertimbangkan fakta yang disebutkan sumber-sumber Cina, bahwa men-jelang akhir perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pe-mimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nucleus sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal. Menurut Arnold, anggota-anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran Islam.
Dalam kaitan ini menarik disinggung bahwa kitab ‘Aja’ib Al-Hind, salah satu sumber Timur Tengah (asllinya berbahasa Persia) paling awal tentang Nusantara, mengisyaratkan tentang eksistensi komunitas Muslim lokal di wilayah kerajaan Hindu-Budha Zabaj (Sriwijaya). Kitab yang ditulis Buzurg b. Shahriyar Al-Ramhurmuzi sekitar tahun 390/1000 ini meriwayatkan tentang kunjungan para pedagang Muslim ke kerajaan Zabaj. Para pedagang Muslim ini menyaksikan kebiasaan di kerajaan itu, bahwa setiap orang Muslim–baik pendatang maupun penduduk lokal–yang ingin menghadap raja harus “bersila” (برسيلا). Kata “bersila” yang digunakan kitab ‘Ajaib Al-Hind pastilah salah satu di antara sedikit kata Melayu yang pernah digunakan dalam teks Timur Tengah. Terlepas dari soal bahasa ini, kewajiban bersila yang di-sebutkan juga berlaku bagi penduduk Muslim lokal, mengisyaratkan telah terdapatnya sejumlah penganut Islam dari kalangan penduduk asli kerajaan Zabaj. Sayang teks ini diislamkan oleh para pedagang arab tersebut. Yang jelas, kebiasaan bersila tersebut kemudian dihapuskan oleh raja Sriwijaya setelah pedagan Oman memprotes bahwa tradisi itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Teori bahwa Islam jgua dibawa langsung dari Arabia dipegang pula oleh Crawfurd, walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum Muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk Muslim di kedua wilayah kepada madzhab Syafi’i. “Teori Arab” ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander dengan sedikit revisi; mereka memandang bukan Mesir sebagai sumber Islam di Nusantara, melainkan Hadhramawt. Sebagian ahli Indonesia setuju dengan “teori Arab” ini. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indonesia mereka menyimpulkan, Islam datang langsung dari Arabia, tidak dari India; tidak pada abad ke-12 atau ke-13 melainkan dalam abad pertama Hijri atau abad ke-7 Masehi.
Di antara pembela tergigih “teori Arab” atau, sebaliknya, penentang terkeras “teori India” adalah Naguib Al-Attas. Seperti Marrison, ia juga tidak bisa menerima penemuan epigrafis yang disodorkan Moquette sebagai bukti langsung bahwa Islam dibawa dari Gujarat ke Pasai dan Gresik oleh Muslim India. Ia berpendapat, batu-batu nisan itu dibawa dari India semata-mata karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan Arabia. Ia memandang, bukti paling penting yang perlu dikaji ketika membahas ke-datangan Islam ke Nusantara adalah karakteristik internal Islam di Dunia Melayu-Indonesia itu sendiri. Ia mengajukan apa yang disebutnya “teori umum tentang islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan terutama pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan-dunia Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10-11/16-17.
Demikianlah, setelah mempertimbangkan perubahan-perubahan utama dalam pandangan dunia rakyat di Nusantara yang disebabkan kedangan Islam, Al-Attas menyimpulkan, sebelum abad ke-17 seluruh literatur keagamaan Islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang Muslim India, atau karya yang berasal dari India. Pengarang-pengarang yang dipandang kebanyakan sarjana Barat sebagai berasal dari Arab atau Persia, dan bahkan apa yang disebut sebagai berasal dari Persia pada akhirnya berasal dari Arab, baik secara etnis maupun kultural. Nama-nama dari gelar-gelar para pembawa pertama Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Arab-Persia. Al-Attas selanjutnya menandaskan:
Benar bahwa sebagian karya itu ditulis di India, tetapi asal-muasalnya adalah Arab atau Persia; atau karya-karya itu–sebagian kecilnya–berasal dari Turki atau Maghrib; dan apa yang lebih penting, kandungan keagamaannya adalah Timur Tengah, bukan India.
Terlepas dari masalah-masalah yang terdapat dalam argumen Al-Attas ini, yang jelas, ia sangat menekankan bahwa Islam di Nusantara ber-asal langsung dari Arab. Argumennya ini selaras dengan apa yang di-ceritakan oleh histografi lokal tentang Islamisasi di dunia mereka. Meski historiografi lokal ini sering bercampur dengan mitos dan legenda, tetapi ada baiknya kita mendengarkan apa yang mereka ceritakan.
Menurut Hikyat Raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350), seorang Syaikh ‘Isma’il datang dengan kapal dari Makkah via Malabr ke Pasai–di sini ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudi-an mengambil gelar Malik Al-Shalih yang seperti dicatat terdahulu, wafat pada 698/1297. Seabad kemudian sekitar 817/1414, menurut Sejarah Melayu (ditulis sekitar 1500), penguasa Malak juga diislamkan oleh Sayyid ‘Abd Al-‘Aziz seorang Arab dari Jeddah. Begitu masuk Islam, penguasa itu, Para-meswara, mengambil nama dan gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi Melayu lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa, (ditulis setelah 1630), me-riwayatkan bahwa seorang Syaikh ‘Abd Allah Al-Yamani datang dari Makkah (atau Baghdad?) ke Nusantara dan mengislamkan penguasa setempat (Phra Ong Mahawangsa), para menterinya dan penduduk Kedah. Penguasa ini setelah masuk Islam menggunakan gelar dan nama Sultan Muzhaffar Syah. Sementara itu, sebuah historiografi dari Aceh memberikan informasi bahwa nenek moyang para sultan Aceh adalah seorang Arab bernama Syaikh Jamal Al-‘Alam, yang dikirimkan Sultan Utsmani untuk mengislamkan penduduk Aceh. Sebuah riwayat Aceh lainnya menyatakan, bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang Arab bernama Syaikh Abd Allah ‘Arif sekitar 506/1111.
Tarsilah (silsilah) raja-raja Muslim dari Kesultanan Sulu di Filipina meriwayatkan cerita senada. Menurut sebuah tarsilah, Islam disebarkan di wilayah ini pada paruh kedua abad ke-8/14 oleh seorang Arab bernama Syarif Awliya’ Karim Al-Mkhdum, yang datang dri Malaka pada 782/1380. Silsilah Sulu mengklaim ia adalah ayah dari Mawlana Malik Ibrahim, salah seorang di antara “Wali Sanga” yang dipercayai mengislamkan Pulau Jawa. Setelah itu, datang pula seorang Arab bernama ‘Amin Allah Al-Makhdum yang juga di-kenal dengan gelar Sayyid Al-Niqab. Ia dipercaya datang ke wilayah ini ber-sama sejumlah Cina Muslim. Gelombang Islamisasi selanjutnya di Sulu, khususnya di pedalaman, terjadi ketika seorang Arab bernama Sayyid ‘Abu Bakr datang ke wilayah ini. Seluruh tarsilah yang ada bersepakat bahwa ia di-jadikan sultan pertama Kesultanan Sulu dengan gelar Syarif Al-Hasyim. Dua orang Arab lainnya yang juga berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan ini disebut bernama “Mohadum” dan ‘Alawi Al-Barpaki. Keduanya dikatakan sebagai saudara Sayyid ‘Abu Bakr. Hunt, seorang pengembara Barat di Sulu pada masa itu, menulis bahwa “Seorang sufi lain datang dari Makkah, bernama Sayed Barpaki, berhasil memasukkan hampir seluruh penduduk ke dalam Islamisme.
Kebanyakan sarjana bersepakat, bahwa di antara para penyebar pertama Islam di Jawa adalah Mawlana Malik Ibrahim, yang namanya sudah disebut di atas. Ia dilaporkan mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk raja Hindu-Budha Maja-pahit, Vikramavarddhana (berkuasa 788-833/1386-1429) agar masuk Islam. Tetapi kelihatannya, hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang da’i Arab di Campa, Islam memperoleh momentum di istana Majapahit. Ia di-gambarkan mempunyai peran menentukan dalam Islamisasi Pulau Jawa dan karenanya, dipandang sebagai pemimpin Wali Sanga dengan gelar Sunan Ampel. Adalah di Ampel ia mendirikan sebuah pusat keilmuan Islam. Pada saat keruntuhan Majapahit, terdapat seorang Arab lain, Syaikh Nur Al-Din Ibrahim b. Mawlana Izrail, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati. Ia belakangan memapankan diri di Kesultanan Cirebon. Seorang sayyid terkenal lain di Jawa adalah Mawlana Ishaq yang dikirim Sultan Pasai untuk mencoba mengajak penduduk Blambangan, Jawa Timur, masuk Islam.
Mempertimbangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi klasik ini, maka kita bisa mengambil empat tema pokok. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyair “profesional” –yakni mereka yang memang khusus bermaksud me-nyebarkan Islam; Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan Keempat, kebanyakan para penyebar Islam “profesional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema terakhir ini, seperti dibahas di depan, mungkin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijri, sebagaimana dikemuka-kan Arnold dan dipegangi banyak sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi hanyalah setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses Islamisasi tampaknya mengalami akselerasi antara abad ke12 dan ke-16.
Telah dikemukakan pula di depan, kebanyakan sarjana Barat me-megang teori bahwa para penyebar pertama Islam di Nusantara adalah para pedangang Muslim yang menyebarkan Islam sembari melakukan perdagangan di wilayah ini, maka nucleus komunitas-komunitas Muslim pun tercipta, yang pada gilirannya memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Selanjutnya dikatakan sebagian pedagang ini melakukan perkawinan dengan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk pe-nyebaran Islam.
Dalam kerangka ini, van Leur percaya bahwa motif ekonomi dan politik sangat penting dalam masuk Islamnya penduduk Nusantara. Dalam pendapatnya, para penguasa pribumi yang ingin meningkatkan kegiatan-kegiatan perdagangan di wilayah kekuasaan mereka menerima Islam. Dengan begitu mereka mendapatkan dukungan para pedagang Muslim yang me-nguasai sumber-sumber ekonomi. Sebaliknya, para penguasa memberi perlindungan dan konsesi-konsesi dagang kepada para pedagang pribumi Nusantara dapat berpartisipasi secara lebih ekstensif dan menguntungkan dalam perdagangan internasional yang mencakup wilayah sejak dari Laut Merah ke Laut Cina. Lebih lanjut, dengan masuk Islam dan mendapat dukung-an para pedagang Muslim, para penguasa itu dapat mengabsahkan dan mem-perkuat kekuasaan mereka, sehingga mampu mengkis jaring-jaring kekuasaan Majapahit.
Teori ini jelas bertentangan dengan riwayat yang disampaikan hitorio-grafi klasik tadi. Teori meletakkan terlalu banyak tekanan pada motif-motif ekonomi dan sekaligus peran para pedagang. Di sini penting mengemukakan hujah Johns: sulit mempercayai bahwa para pedagang Muslim ini juga berfungsi sebagai para penyebar Islam. Jika benar mereka juga bertindak sebagai penyiar Islam, maka cukup diragukan apakah jumlah penduduk yang berhasil mereka Islamkan cukup besar dan signifikan. Lebih jauh lagi–dan ini argumen terpenting–jika memang mereka sangat aktif dalam penyiaran Islam, mengapa Islam kelihatannya nyata sebelum abad ke-12. Padahal para pe-dagang Muslim sejak abad ke-7, tidak terdapat bukti tentang terdapatnya penduduk Muslim lokal dalam jumlah besar atau tentang terjadinya Islamisasi substansial di Nusantara.
Schrieke juga membahas tentang motif penyebaran Islam di kalangan rakyat di Nusantara. Ia tak percaya bahwa perkawinan antara para pedagang dengan pra keluarga bangsawan menghasilkan konversi kepada Islam dalam jumlah besar. Ia menolak pula bahwa kaum pribumi pada umumnya ter-motivasi masuk Islam karena penguasa mereka telah memeluk agama ini. Dalam pendapatnya, adalah ancaman Kristen yang mendorong penduduk Nusantara untuk masuk Islam dalam jumlah besar. Jadi, menurut dia, penyebaran dan ekspansi luar biasa Islam merupakan hasil dari semacam per-tarungan antara Islam dan Kristen untuk mendapatkan penganut-penganut baru di kawasan ini. Schrieke mendasarkan teorinya ini dengan melihat apa yang dipandangnya sebagai konfrontasi antara Islam dan Kristen di Timur Tengah dan Semenanjung Iberia. Menurut dia, penyebaran Islam secara besar-besaran di Nusantara terjadi ketika pertarungan tengah berlangsung antara Portugis melawan para pedagang dan penguasa-penguasa Muslim di Arabia, Persia, India, dan Nusantara. Ia menyimpulkan, penyebaran Islam dipandang sebagai kekuatan tandingan terhadap gospel Kristen yang agresif. Tetapi argumen Schrieke ini sulit diterima. Karena apa yang disebutnya “pertarungan antara Islam dan Kristen” di Nusantara paling mungkin terjadi hanya setelah tahun 1500 ketika orang-orang Eropa mulai datang ke Nusantara, tidak pada abadk ke-12 atau ke-13, ketika berlangsungnya Islamisasi besar-besaran di Nusantara.
Teori yang lebih masuk akal dengan tingkat aplikabilitas lebih luas dibandingkan semua teori di atas disajikan oleh A.H. John. Dengan memper-timbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan peran terpenting dalam penyebaran Islam, ia mengajukan bahwa adalah para sufi pengembara yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke-13. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekan-kan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah Melayu-Indonesia, Johns memeriksa sejumlah sejarah lokal untuk memperkuat hujahnya.
Menurut Johns, banyak sumber lokal mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Karakteristik lebih terinci mereka ini adalah sebagai berikut:
Mereka adalah para penyiar (Islam) pengembara yang berkelana di seluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan, sesuai dengan tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia, yang mereka tempatkan ke bawah (ajaran Islam), (atau) yang merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam; mereka me-nguasai ilmu magis, dan memiliki kekuatan yang menyembuhkan; mereka siap memelihara kontinuitas dengan masa silam, dan menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra-Islam dalam konteks Islam.
Jadi, berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi dapat mengawini putri-putri bangsawan dan, karena itu, memberikan kepada anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahi-an atau karisma keagamaan. Hasilnya, kesimpulan Johns, Islam tidak dapat dan tidak menancapkan akarnya di kalangan penduduk negara-negara Nusantara atau mengislamkan para penguasa mereka sampai Islam disiarkan para sufi, dan ini tidak merupakan gambaran dominan perkembangan Islam di Nusantara samapai abad ke-13. Teori sufi ini disokong oleh Fatimi, misalnya, yang memberikan argumen tambahan. Ia, antara lain, menunjuk kepada sukses yang sama dari kaum sufi dalam mengislamkan jumlah besar penduduk Anak Benua India pada periode yang sama.
Persoalannya kemudian, kenapa gelombang sufi pengembara ini baru aktif sejak abad ke-13? Johns berhujah, tarekat sufi tidak menjadi ciri cukup dominan dalam perkembangan Dunia Muslim sampai jatuhnya Baghdad ke tangan laskar Mongol pada 656/1258. Mengutip Gibb, ia mencatat bahwa setelah kejatuhan kekhalifahan Baghdad, kaum sufi memainkan peran kian penting dalam memelihara keutuhan Dunia Muslim dengan menghadapi tantangan kecenderungan pengepungan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persia, dan Turki. Adalah pada masa-masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajin-an tangan (thawa’if), yang turut membentuk masayarakat urban.
Afiliasi ini memungkinkan para guru dan murid sufi memperoleh sarana pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat Dunia Muslim ke wilayah-wilayah periferi, membawa keimanan dan ajran Islam melintasi berbagai batas-batas bahasa dan, dengan demikian, mempercepat proses ekspansi Islam. Dengan latar belakang semacam inilah, maka sumber-sumber lokal yang disebut dan dikutip terdahulu memberi informasi tentang kedatang-an berbagai syaikh, sayyid, makhdum, guru dan semacamnya dari Timur Tengah atau tempat-tempat lain ke wilayah-wilayah mereka.
Teori “sufi” ini berhasil membuat korelasi antara peristiwa-peristiwa politik dan gelombang konversi kepada Islam. Meski peristiwa-peristiwa politik–dalam ini kekhalifahan Abbasiyah–merefleksikan hanya secara tidak langsung pertumbuhan massal masyarakat Muslim, orang tak dapat mengabai-kan mereka, karena semua itu mempengaruhi perjalanan masyarakat Muslim di bagian-bagian lain Dunia Muslim. Teori ini juga berhasil membuat korelasi penting antara kontroversi dengan pembentukan dan perkembangan institusi-institusi Islam yang menurut Bulliet, akhirnya membentuk dan menciptakan ciri khas masyarakat Muslim. Yang terpenting di antara institusi-institusi iini adalah madrasah, tarekat sufi, futuwwah (persatuan pemuda), dan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan. Semua institusi ini menjadi penting hanyalah sejak abad ke-11.
Periode konsolidasi yang diberikan Bulliet kelihatan sedikit lebih awal dibandingkan dengan yang dikemukakan Johns. Tetapi, riwayat lengkapnya dapat dijelaskan lebih baik dengan sekali lagi melihat kepada peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam abad-abad ini. Tidak ada persoalan, bahwa pada abad ke-11 Kekhalifahan Abbasiyah dengan cepat merosot. Kemerosotan kekuasaan politik ini khususnya mendorong munculnya lembaga-lembaga dan struktur-struktur monopolitik untuk mengisi kevakuman struktur dan ke-pemimpinan politik. Karena itu, menjelang abad ke-12 berbagai perkumpulan sosial, keagamaan dan ekonomi–seperti disebutkan tadi, muncul dan ber-kembang lebih cepat. Lebih jauh, adalah pada masa-masa ini atau menjelang akhir abad ke-12 padamnya konflik faksional endemik yang memecah belah golongan Sunni sejak abad ke-10. Konsekuensi perkembangan ini adalah kebangkitan ulama sebagai kelompok sosial khas, yang semakin sadar ter-hadap peran krusial mereka dalam memelihara dan memperluas ranah pengaruh Islam.
Situasi politik yang tak menguntungkan itu, lebih jauh lagi, mendorong banyak Muslim–termasuk ulama dan sufi–di wilayah-wilayah tertentu yang dikuasai langsung Dinsti Abbasiyah untuk berpindah khususnya ke wilayah-wilayah yang baru diislamkan. Menjelang akhir abad ke-11, bagian barat Baghdad, misalnya, kehilangan banyak penduduknya. Eksodus ini bahkan lebih mencolok di Persia. Dalam periode yang sama, Persia kehilangan banyak ulama Sunni. Inilah salah satu faktor utama yang mendorong pertumbuhan golongan Syi’ah di Persia. Sebaliknya, banyak ulama yang keluar dari Persia dapat ditemukan di banyak wilayah Dunia Muslim. Migrasi dalam jumlah besar ini turut mempercepat konversi orang-orang dalam jumlah besar kepada Islam di Anak Benua India, Eropa Timur dan Tenggara, dan Nusantara pada periode antara paruh kedua abad ke-10 dan akhir abad ke-13. Seluruh proses mempunyai andil terhadap kebangkitan yang oleh Hodgson disebut sebagai “internasionalisasi” (“universalisasi”) Islam Sunni.
Memandang dari perspektif lebih luas ini, orang akan lebih memahami proses konversi dan Islamisasi Nusantara. Jelas, terdapat sejumlah faktro yang berkaitan satu sama lain, yang mempengaruhi seluruh proses yang ada. Tetapi, terlepas dari komplekstitas proses konversi dan Islamisasi Nusantara itu, wilayah ini merupakan contoh yang cukup unik dari transformasi besar keagamaan antara mayoritas penduduknya.

1. Hubungan Awal Muslim Nusantara Dengan Timur Tengah
Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang, yang dapat dilacak sampai ke masa antiquity. Khususnya berkaitan dengan perdagangan, bermula bahkan sejak masa Phunisia dan Saba.
Pengenalan dan penyebaran Islam di pesisir pantai Anak Pantai Benua India terbukti merangsang tidak hanya hubungan dagang antar Timur Tengah dengan Nusantara, tetapi juga berbagai bentuk hubungan dan pertukaran keagamaan, sosial, politik, dan kebudayaan.

Dari Buku : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII
Pengarang : Azyumardi Azra.
Penerbit : Kencana Predana Media Group, Jakarta (cetakan ke 3, 2007/Edisi Revisi).
Halaman : 338.

Comments :

0 komentar to “KEDATANGAN ISLAM DAN HUBUNGAN”


Posting Komentar